Kamis 25 Nov 2021 18:30 WIB

UU Pemilu tak Direvisi, Pemilu Serentak Tetap Lima Kotak 

DPR menyatakan beban penyelenggara Pemilu sudah dievaluasi.

Rep: Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Pemerintah dan DPR RI sepakat tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). (ilustrasi)
Foto: republika
Pemerintah dan DPR RI sepakat tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR RI sepakat tidak merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu 2024 tetap berpedoman pada kedua UU tersebut, termasuk model pemilu serentak. 

"Sejauh ini demikian," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan kepada Republika, Kamis (25/11). 

Baca Juga

Pada Rabu (24/11), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021 terkait uji materi UU Pemilu mengenai pemungutan suara serentak. MK kembali mengingatkan enam opsi model pemilu serentak dalam pertimbangan putusan nomor 55/PUU-XVII/2019 yang dapat dipilih oleh pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. 

Menurut MK, pemerintah dan DPR berwenang menentukan model pemilu serentak sepanjang tetap menjaga keserentakan pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Sebab, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. 

MK mendorong pembentuk undang-undang mengevaluasi dan melakukan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu. Menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, MK menegaskan agar pembentuk UU segera menindaklanjuti putusan nomor 55/PUU-XVII/2019. 

Alasan MK menolak perkara nomor 16/PUU-XIX/2021, karena substansi dan esensi permohonan ini sama seperti pada putusan nomor 55/PUU-XVII/2019. Menurut Benni, Kemendagri akan mempelajari putusan MK tersebut. 

"Kami akan pelajari lihat dan pelajari terlebih dahulu putusan MK dimaksud," kata dia. 

Mengenai persiapan Pemilu 2024, Benni mengatakan, akan dibahas lebih lanjut oleh KPU, pemerintah, dan Komisi II DPR pada rapat kerja atau rapat dengar pendapat mendatang. "Terkait dengan persiapan Pemilu 2024, akan dibahas lebih lanjut oleh KPU, Perwakilan Pemerintah dan Komisi 2 DPR RI pada masa sidang berikutnya," ucap dia. 

Baca Juga:

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menilai pembentuk undang-undang tidak terikat dengan kedua putusan tersebut. Sebab, kedua putusan itu ditolak MK sehingga enam opsi model pemilu serentak yang menjadi pertimbangan MK dalam putusannya merupakan pilihan bebas bagi pembentuk undang-undang. 

Dia menuturkan, ketika pemerintah dan DPR bersepakat tidak merevisi UU Pemilu, keenam opsi model pemilu serentak itu sementara tidak dilihat. Sebab, perubahan model pemilu serentak harus mengubah ketentuan UU. 

Dengan demikian, model pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu 2024 akan sama dengan pelaksanaan Pemilu 2019 lalu, yakni lima kotak suara. Pemilu terdiri atas pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota. 

Pada 2024 nanti beberapa bulan setelah pemilu tersebut, akan digelar Pilkada serentak, baik gubernur maupun bupati/wali kota di seluruh Indonesia, kecuali gubernur DI Yogyakarta. Selain itu, Hasyim menambahkan, terkait persiapan Pemilu 2024, KPU mengajukan permohonan konsultasi atau rapat dengar pendapat kepada Komisi II DPR. 

Hal ini berkaitan dengan desain tahapan pemilu, termasuk usulan jadwal pemungutan suara Pemilu pada 21 Februari 2024. "Apa yang disampaikan KPU, cara pandang kemudian mendesain tahapan Pemilu 2024 itu boleh dikatakan sudah mendekati fix atau final, yang diusulkan KPU itu hari coblosannya 21 Februari 2024," jelas dia. 

Harus dikoreksi

Suara untuk mengoreksi Pemilu 5 kotak justru datang dari DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemilihan lima kotak dalam sehari harus dievaluasi. 

Ia mengatakan, koreksi agar tujuan Pemilu sebagai sarana konstitusional pelaksanaan kedaulatan rakyat, dapat sungguh-sungguh dicapai. Pemilu lima kotak dalam sehari terlalu rumit bagi masyarakat. 

Sebab, pemilih harus memilih capres, DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam sekali proses pencoblosan. "Pemilih banyak yang bingung,” ujar Luqman saat dihubungi, Kamis (25/11).

photo
Distribusi logistik Pemilu, ilustrasi - (Antara/Bayu Pratama S)
 

Selain itu, ia mengatakan, penyelenggaraan pemilihan lima kotak membebani penyelenggara Pemilu. "Terbukti pada pemilu 2019, hampir seribu petugas KPPS meninggal dunia dan ribuan lainnya jatuh sakit," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu (PKB).

Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera juga menyinggung soal beban penyelenggara pemilu. "Semestinya tragedi kemanusiaan banyak korban (dari) penyelenggara pemilu lalu menjadi bagian dari pertimbangan dalam memberikan amar putusan," ujar Mardani merespons putusan MK.

Selain itu, pemilihan serentak akan mengorbankan kualitas kontestasi dan demokrasi pada 2024. Sebab, masyarakat hanya akan memberikan fokusnya pada pemilihan presiden dan legislatif pada hari pencoblosan.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menilai, beban penyelenggara Pemilu 2019 sudah dievaluasi sebagai bahan antisipasi pelaksanaan pada 2024. "Ini sudah diantisipasi terkait beban, antisipasinya lewat mana, tentu lewat PKPU nanti. Jadi apa yang diperintahkan MK sebelumnya terkait dengan putusan yang awal, itu yang sudah berjalan," ujar Saan.

Saan mengatakan, DPR juga sudah memilih salah satu dari enam rekomendasi yang diberikan MK terkait pemilu serentak. Rekomendasi yang dipilih adalah pemilihan umum lima kotak suara yang dilakukan sehari.

Menurut dia, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengatur keserentakan sudah tak dapat dilakukan sekarang. Sebab, tahapan Pemilu 2024 direncanakan akan dimulai pada Juni 2022.

"Karena misalnya untuk menyusun kembali mekanisme tata cara pemilu, itu kan tentu kita harus mengubah UU nya. Nah sementara udah disepakati UU Pemilu tidak mengalami perubahan, itu tidak terjadi dengan berbagai pertimbangan," ujar politikus Partai Nasdem itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement