Kamis 18 Nov 2021 17:57 WIB

Alasan Jaksa Agung Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor

Jaksa Agung menilai hukuman memiskinkan koruptor tak cukup.

Hukuman Mati/ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman Mati/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --  Jaksa Agung ST Burhanuddin menilai semangat saja tak cukup menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia. Ini karena seringkali upaya penegakkan hukum yang dilakukan tak cukup untuk memberantas kejahatan tersebut.

Burhanuddin beranggapan bahwa saat ini telah banyak upaya penegakkan hukum. Di antaranya, memiskinkan pelaku hingga tindakan represif lain yang justru tak memberikan efek jera bagi pelaku.

Baca Juga

"Upaya tersebut ternyata belum cukup memberantas kejahatan korupsi. Karena itu kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan hukum, dengan menerapkan hukuman mati," kata Burhanuddin dalam sebuah diskusi daring yang digelar pada Kamis (18/11).

Burhanuddin mengatakan bahwa selama ini pihaknya telah mencoba memberikan efek jera dengan misalnya memberikan tuntutan berat sesuai dengan tingkat kejahatannya.

Kemudian, kata dia, pihaknya juga merubah pola pendekatan follow the suspect (tersangka) menjadi follow the money dan follow the asset untuk mendalami perkara. Hal itu kemudian yang akan berujung pada perampasan aset.

"Memiskinkan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset recovery. Sehingga, penegakkan hukum tidak hanya pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan secara maksimal," ujar dia lagi.

Jaksa, kata dia, juga telah berupaya menyeleksi pemberian justice collaborator (JC) bagi para koruptor yang terjerat. Lalu, upaya hukum lain melalui sistem keperdataan juga sempat diupayakan kepada koruptor yang telah meninggal dunia atau diputus bebas namun ditemukan ada kerugian keuangan negara dalam peristiwa tersebut. 

Namun demikian, kata dia, semua upaya tersebut masih belum dapat memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Sehingga, pendakatan yang lebih ekstrim untuk mengupayakan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa korupsi tengah dikaji dan diupayakan oleh Kejaksaan. 

"Terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor ini yang pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, tentunya akan menimbulkan pro kontra," jelas dia. 

"Keberadaan sanski pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting di dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera," tambah dia. 

Apalagi, kata dia, jalan untuk menerapkan hukuman mati tersebut diperbolehkan dalam Undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, terobosan hukum dinilainya dapat dilakukan untuk menyelesaikan perkara masalah korupsi di Indonesia. 

Ia mencontohkan, sanksi itu termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor merumuskan bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman pidana mati. 

Misalnya, kata dia, dana-dana yang diperuntukkan untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, hingga penanggulangan krisis ekonomi dan moneter. 

Kemudian, ia juga mengatakan bahwa frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang. Burhanuddin merujuk pada konsep residivis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memaknai pengulangan sebagai perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.

Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera. Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.

"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," jelasnya. 

Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana tersebut berkaca dari dua kasus korupsi kelas kakap yang digarap oleh Kejagung, yakni pengelolaan dana keuangan dan investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT ASABRI (Persero).

Kasus Jiwasraya berdampak pada banyak masyarakat luas ataupun para pegawai yang mendapat jaminan sosial tak terpenuhi haknya. Diketahui, kasus itu merugikan negara hingga Rp 16,8 triliun.

Hal serupa juga kembali terjadi pada kasus korupsi Asabri yang turut merugikan hak-hak prajurit di Indonesia. Dimana, mereka memiliki harapan untuk masa pensiun dan masa depan keluarganya lewat asuransi yang dikelola perusahaan pelat merah itu.

Dalam kasus Asabri, total ada delapan terdakwa yang telah diseret ke meja hijau. Mereka didakwa Jaksa merugikan keuangan negara Rp 22,7 triliun akibat kasus mega korupsi yang terjadi pada perusahaan pelat merah itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement