Rabu 17 Nov 2021 05:05 WIB

Lonjakan Covid-19 di Eropa dan Pengaruh Efektivitas Vaksin

WHO telah menetapkan Eropa sebagai episentrum penularan Covid-19.

Sejumlah mahasiswa dengan menggunakan masker mengikuti perkuliahan Universitas Pantheon, Paris. WHO telah menetapkan Eropa sebagai episentrum penularan Covid-19.
Foto: Foto AP / Michel Euler
Sejumlah mahasiswa dengan menggunakan masker mengikuti perkuliahan Universitas Pantheon, Paris. WHO telah menetapkan Eropa sebagai episentrum penularan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dian Fath Risalah, Adysha Citra Ramadani

Eropa kini dihantam gelombang Covid-19 untuk kesekiankalinya. Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Benua Biru itu sebagai episentrum baru penularan Covid-19. Situasi ini memunculkan kekhawatiran tentang efektivitas vaksin mengingat sebagian besar negara di Eropa telah banyak memvaksinasi warganya.

Baca Juga

Ahli Virologi yang juga guru besar Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan, lonjakan di sejumlah negara Eropa kemungkinan besar lantaran saat ini sudah mulai memasuki musim dingin. Karena, pada saat musim dingin sebagian besar masyarakat Eropa, cenderung berkumpul di ruangan tertutup dan melakukan perayaan akhir tahun.

"Lonjakan Eropa belum tentu karena vaksin (efektivitas turun). Di sana musim dingin. Orang cenderung berkumpul di ruangan tertutup," kata Mahardika kepada Republika.co.id, Selasa (16/11).

Ihwal adanya dugaan penyebab bertambahnya kasus di Eropa karena berkurangnya efikasi vaksin pada varian baru Covid-19, menurut Mahardika, hal tersebut belum bisa dipastikan. Dugaan tersebut muncul lantaran masih tingginya angka Covid-19 di beberapa negara Eropa yang cakupan vaksinasinya tinggi.

Diketahui, perusahaan farmasi asal Prancis, Valneva pun mulai menawarkan vaksin Covid-19 bernama VLA2001 yang dibuat dengan menggunakan seluruh bagian virus corona yang telah dinonaktifkan dengan efektif seperti Sinovac. Menurut Mahardika, yang terjadi di Eropa saat ini belum bisa dipastikan karena adanya mutasi atau varian virus yang baru. Karena, dari data yang ia miliki terkait mutasi virus Covid-19, belum ada indikasi pengikatan antibodi yang berubah drastis.

"Kecuali varian Corona AY.4.2, saya belum dapat datanya, namun dari beberapa data virus yang bermutasi, perubahan hanya minor dan tidak memengaruhi efektivitas vaksin," terangnya.

Lebih lanjut Mahardika menerangkan, kelebihan dan kekurangan dari vaksin inaktif yang menggunakan seluruh bagian dari virus yang telah dimatikan atau dilemahkan. Menurutnya, vaksin inaktif memiliki kelebihan dengan memiliki banyaknya komponen.

Ia pun mencontohkan dalam vaksin Sinovac memiliki virus yang sudah dimatikan untuk memicu respons imun. Vaksin dengan virus inaktif ini akan merangsang respons imun yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada protein spike, tapi juga pada protein virus SARS-CoV-2 lainnya seperti protein E, N, dan juga protein pada matriks. Metode ini sudah terbukti manjur dan telah digunakan dalam pengembangan vaksin lain, seperti vaksin flu dan vaksin polio.

"Sementara virus berbasis DNA seperti Pfizer atau Moderna, hanya memiliki spike protein saja. Kalau spike (protein virus) bermutasi hebat di lapangan, kemungkinan tidak ada ban serep, kalau inaktif itu ada ban serepnya," terang Mahardika.

Namun, kekurangan vaksin inaktif perlu waktu yang lebih lama untuk menaikkan kekebalan tubuh, yaitu sekitar dua pekan setelah diaplikasikan. Selain itu, bila virus sudah berubah, maka perlu mecari bibit virus baru dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Kalau virus di lapangan sudah berubah harus mencari bibit virus yang baru dan lumayan lama. Kalau vaksin dengan gen butuh sepekan, jadi lebih cepat membuat vaksinnya kalau virus berubah," terangnya.

Diketahui, perusahaan farmasi asal Prancis, Valneva, menawarkan vaksin Covid-19 dengan cara kerja yang berbeda. Vaksin bernama VLA2001 ini dibuat dengan teknik yang mirip seperti vaksin flu dan polio.

Baca juga : 16.638 Difabel Telah Terima Dosis Lengkap Vaksin

Bila kebanyakan vaksin bekerja dengan cara memicu respons imun yang hanya menarget spike protein virus corona, vaksin Covid-19 dari Valneva ini menstimulasi respons imun terhadap seluruh virus. Perbedaan ini dinilai akan membuat VLA2001 mengungguli vaksin kompetitor.

VLA2001 dibuat dengan menggunakan seluruh bagian virus corona yang telah dinonaktifkan sehingga tak akan menyebabkan sakit. Virus yang tidak aktif tersebut lalu dikombinasikan dengan adjuvant, yaitu sebuah bahan yang akan membantu vaksin masuk ke sel manusia dengan efektif. Teknik serupa juga digunakan untuk membuat vaksin flu dan polio.

Karena menggunakan seluruh bagian virus, sistem imun akan mampu mengenali seluruh bagian virus corona sebagai benda asing, bukan hanya mengenali spike protein-nya saja. Dengan begitu, vaksin VLA2001 bisa memicu respons imun yang lebih luas dan meningkatkan memori sel yang dapat mengenali berbagai bagian virus corona.

Hal ini membuat vaksin VLA2001 tetap bisa bekerja dengan cukup baik meski virus corona bermutasi. Sebagai contoh, respons imun individu yang telah divaksinasi dengan VLA2001 akan tetap bisa mengenali bagian lain dari virus corona meski bagian //spike protein//-nya mengalami mutasi.

"Merupakan hal yang baik untuk berinvestasi pada vaksin yang tak hanya mengandalkan satu bagian dari struktur (virus) untuk menghasilkan perlindungan," jelas dosen senior dari University of Leeds School of Medicine Dr Amir Khan, seperti dilansir Al Jazeera.

Baca juga : Sri Mulyani Catat Booster Vaksin Capai 1 Juta Dosis

Uji klinis fase tiga vaksin VLA2001 telah dilakukan dengan melibatkan lebih dari 4.000 pasien berusia 18 tahun ke atas di Inggris. Dalam percobaan ini, peneliti membandingkan tingkat respons imun yang dihasilkan vaksin VLA2001 dan vaksin Oxford/AstraZeneca.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa VLA2001 berhasil menghasilkan respons imun yang lebih kuat dibandingkan vaksin Oxford/AstraZeneca. Individu yang mendapatkan VLA2001 juga memiliki antibodi penetral Covid-19 yang lebih tinggi di dalam darah mereka.

Peneliti juga menemukan tak adanya kasus Covid-19 berat pada individu yang mendapatkan VLA2001 dan terkena Covid-19. Padahal, saat uji klinis dilakukan, peredaran varian Delta sedang tinggi.

"Varian Delta mengajarkan kita untuk tidak meremehkan virus corona dan dengan banyaknya negara miskin yang belum cukup banyak memvaksinasi warga mereka, ada kemungkinan lebih besar untuk munculnya mutasi baru," ujar Dr Khan.

Terkait inovasi vaksin Covid-19, saat ini vaksin yang diberikan lewat hidung atau vaksin nasal mulai banyak dibicarakan. Di Inggris, vaksin flu sudah diberikan dalam bentuk semprotan nasal ke sebagian besar anak.

Vaksin nasal memiliki beberapa keunggulan. Salah satu di antaranya adalah bisa digunakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Selain itu, vaksin nasal akan membuat lapisan di saluran hidung dan pernapasan lebih diperkaya dengan sel imun. Seperti diketahui, saluran hidung sering kali menjadi pintu masuk bagi banyak kuman yang mempengaruhi sistem pernapasan. Vaksin nasal juga dapat menjadi solusi bagi orang-orang yang memiliki ketakutan terhadap jarum suntik.

Saat ini, sebuah studi yang dipimpin oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) asal Amerika Serikat telah mencoba memberikan vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca dalam bentuk semprotan nasal. Dalam studi pada hewan, pemberian vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca dalam bentuk semprotan nasal ini bisa menurunkan pelepasan virus.

Baca juga : Saudi: 97 Persen Positif Covid-19 Orang Belum Divaksinasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement