REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjadi sembilan tahun penjara dalam perkara penerimaan suap terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama enam bulan," demikian termuat dalam putusan Edhy di laman Mahkamah Agung yang diakses di Jakarta, Kamis (11/11).
Putusan di tingkat banding itu dijatuhkan pada 21 Oktober 2021 oleh Haryono selaku hakim ketua majelis dan Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih masing-masing sebagai hakim anggota.
Baca: Divonis 5 Tahun, Edhy Prabowo: Saya Sedih
Edhy juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan, dan apabila tidak dibayar harta bendanya akan disita dan dilelang. Sedangkan jika harta benda tidak cukup maka harus dipidana selama tiga tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," demikian termuat dalam putusan tersebut.Putusan banding tersebut memperberat hukuman bagi Edhy di tingkat pertama.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021, menjatuhkan vonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subisider enam bulan kurungan. Putusan di tingkat banding juga lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut agar Edhy divonis lima tahun penjara.
Baca: Bacakan Pledoi, Edhy Prabowo Minta Maaf ke Jokowi & Prabowo
Dalam pertimbangannya, majelis hakim di tingkat banding menyatakan memori banding yang diajukan penasihat hukum Edhy tidak ditemukan hal-hal baru yang dapat melemahkan atau membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan hanya pengulangan dari apa yang disampaikan sebelumnya.
Namun terkait dengan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan majelis hakim tingkat pertama, menurut majelis hakim tingkat banding belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga harus diubah.
"Bahwa penjatuhan pidana pokok kepada terdakwa tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," tutur hakim menjelaskan.
Edhy juga dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik. "Terdakwa telah menabrak aturan atau tatanan prosedur yang ada di Kementeriannya sendiri," kata hakim menegaskan.
Saat pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Edhy terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda sejumlah Rp 400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata ketua majelis hakim Albertus Usada.
Vonis tersebut sama dengan tuntutan JPU KPK yang meminta agar Edhy divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan. Edhy juga diminta untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS.
"Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan terdakwa," kata hakim Albertus.
Usai mendengarkan vonis itu, Edhy yang merupakan politikus Partai Gerindra, mengaku, sedih. Diamenyatakan akan pikir-pikir terkait langkah hukum selanjutnya yang akan diambil. Edhy masih bisa melakukan banding, peninjauan kembali, hingga kasasi. "Ya saya mau pikir-pikir dulu, saya sedih hasil ini tidak sesuai dengan fakta persidangan," kata Edhy.
"Tapi ya inilah proses peradilan di kita, saya akan terus melakukan proses, tapi kasih saya waktu berpikir. Terima kasih," kata orang kepercayaan Prabowo Subianto tersebut.