REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Badan Nasional Narkotika (BNN) menilai Pedoman Jaksa Agung 18/2021 sebagai terobosan yang positif dalam penyelesaian masalah hukum bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Juru Bicara (Jubir) BNN, Komisaris Besar (Kombes) Sulistyo Pudjo mengatakan, dalam pemberantasan narkotika dan obat-obatan terlarang, memang mengharuskan adanya pemisahan antara penanganan para pengguna, pengedar, dan bandar.
“BNN sangat berterimakasih untuk terobosan hukumnya (pedoman) itu. Kalaupun pedoman itu bersifatnya internal (di kejaksaan), tetapi itu terobosan yang bagus,” kata Kombes Pudjo, saat dihubungi, dari Jakarta, pada Senin (8/11). Lewat pedoman tersebut, akan memastikan, tentang hukuman rehabilitasi yang seragam bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika yang selama ini tampak tak sama. Sekaligus, kata dia, untuk memastikan, pada tahap mana, dan otoritas mana yang berhak secara hukum, untuk memastikan dilakukan rehabilitasi.
Karena selama ini, ada penanganan yang berbeda-beda terhadap para pelaku penyalahgunaan narkotika. “Terobosan itu, bisa untuk memastikan pada tahap mana, dan kewenangan siapa yang dapat memutuskan untuk melakukan rehabilitasi, apakah kepolisian, kejaksaan, atau dengan pengadilan,” ujar Pudjo menambahkan. Pudjo, pun mengatakan, Pedoman Jaksa Agung tersebut, semakin melangkapi perangkat hukum yang ada selama ini, tentang penanganan khusus para pelaku penyalahgunaan narkotika.
Sebelum Pedoman Jaksa Agung 18/2021, sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 04/2010. Edaran tersebut, pun sebetulnya sama-sama sebagai pelengkap jajaran internal masing-masing aparat penegak hukum, dalam menjalankan Undang-undang (UU) 35/2009 tentang Narkotika. SEMA, maupun Pedoman Jaksa Agung tersebut, sama-sama memberikan langkah yang berkeadilan untuk menempatkan para pelaku penyalahgunaan narkotika, dan obat-obatan terlarang ke pusat-pusat maupun panti-panti rehabilitasi untuk penyembuhan.
Karena dikatakan Pudjo, BNN menganut paham khusus pengguna narkotika yang seharusnya ‘dihukum’ dengan cara direhabilitasi untuk penyembuhan total. “Secara filisofinya itu, pengguna narkotika, itu memang harusnya direhab. Bukan penjara badan. Karena semua sistem yang ada, harus memberikan jalan pengguna itu direhab. Bandar, dan pengedar itu beda lagi,” ujar Pudjo. Pudjo, pun menerangkan, secara penegakan hukum, atau projusticia, mewajibkan pengguna narkotika untuk direhabilitasi, sesuai dengan azas keadilan.
Dalam projusticia, kata Pudjo, memang menjadi tidak adil, pun tidak layak orang yang hanya menggunakan, dan menyalahgunakan narkotika, dicampur dengan narapidana yang lain, seperti narapidana pengedar, maupun bandar narkotika. “Karena itu, dalam projusticia, agar jangan sampai orang-orang yang dulunya itu hanya menggunakan, malah nanti naik kelas jadi pengedar, atau bandar. Karena itu, tidak bisa dicampur mereka itu dalam penghukuman itu,” ujar Pudjo.