Senin 08 Nov 2021 14:37 WIB

Kemendikbudristek Bantah Permendikbud PPKS Legalkan Zina

Permendikbud berpotensi memfasilitasi perilaku seksual menyimpang LGBT.

Rep: Ronggo Astungkoro, Rizky Suryarandika, Ratna Ajeng Tejomukti, Dea Alvi Soraya/ Red: Agus raharjo
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof Nizam
Foto: Tangkapan layar
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof Nizam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menilai anggapan yang menyebut Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 melegalkan perzinaan timbul karena kesalahan sudut pandang. Aturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi itu disebut ditujukan sebagai upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual.

"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” ujar Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, lewat keterangan tertulisnya, Senin (8/11).

Baca Juga

Nizam menggarisbawahi fokus Permendikbudristek PPKS itu adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permendikbudristek PPKS itu khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual, terutama di lingkungan perguruan tinggi.

Dia beralasan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti pimpinan perguruan tinggi. Dari laporan itu, kebanyakan korban takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi mereka.

"Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” tegas Nizam. Ia juga mengatakan, kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan kepada korban dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi.

Pembentukan aturan terkait kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi, kata dia, menjadi kewenangan Kemendikbudristek. "Kemendikbudristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual," jelas dia.

Permendikbudristek PPKS diklaim sudah detil dalam mengatur langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Selain itu, aturan disebut juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika.

Lebih lanjut Nizam menjelaskan, Permendikbudristek PPKS dirancang untuk sejumlah tujuan. Pertama, membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual. Kemudian, menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permendikbudristek PPKS.

Lalu, untuk mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya. “Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita sebagaimana tertuang dalam UUD, UU 20/2003, UU 12/2012, dan berbagai peraturan turunannya. Termasuk Permendikbud No 3/2020 tentang standar nasional pendidikan tinggi,” kata Nizam.

Permendikbud PPKS memang memunculkan sejumlah protes dari berbagai pihak. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kurniasih Mufidayati menuding Mendikbudristek Nadiem Makarim melegalkan kebebasan seks di lingkungan kampus melalui Permendikbud PPKS. Menurut Mufida, Permendikbud ini justru membuka peluang kebebasan seksual.

"Bagaimana mungkin seorang Menteri Pendidikan yang menjadi panutan bangsa, membuat kebijakan melegalkan praktik kebebasan seksual di kampus? Civitas kampus bukan hanya mahasiswa tapi juga tenaga pendidik maupun mereka yang bekerja di kampus dan sudah berkeluarga," kata Mufida dalam keterangan pers, Senin (8/11).

Mufida juga menyebut Permendikbud ini melarang aborsi dan pemaksaan kehamilan. Tapi tidak melarang penyebab dua hal tersebut yakni hubungan seksual bagi pasangan tidak menikah. "Melarang dampak seks bebas tapi tidak melarang seks bebas itu sendiri jelas satu kebijakan yang tidak benar," ucap politikus PKS itu.

Di lain pihak, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam yang tergabung dalam Mejelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 Ormas Islam Indonesia menyatakan penolakan terhadap keluarnya Permendikbudistek pada 28 September 2021 itu. Dalam pernyataan resminya kepada Republika.co.id, MOI menilai Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan.

Ketua MOI KH Nazar Haris menegaskan, Permendikbud PPKS berpotensi merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus. "Yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan," tutur Ketua MOI KH Nazar Haris.

Menurut MOI, Permendikbud ini telah menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut MOI banyak poin dalam Permendikbud yang bermasalah dan dapat menjadi polemik ditengah masyarakat dalam pelaksanaannya kedepan.

Nazar mengatakan bahwa Permendikbud ini mengadopsi draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas di DPR periode 2014-2019. "Poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktifitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktifitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,"ujar Haris.

Permendikbud ini juga berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). LGBT adalah penyakit mental dan penderitanya adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui lembaga konseling yang difasilitasi negara.

 
 
“Saya menduga, kritik dari banyak kalangan itu adalah karena frasa dalam permendikbud ini seolah-olah membolehkan hubungan seks di lingkungan kampus, jika keduanya sama-sama suka,”

Jejen Musfah, pengamat pendidikan Islam

 

Pengamat Pendidikan Islam Jejen Musfah menilai penyebab munculnya penolakan terhadap Permendikbud PPKS karena adanya ambiguitas frasa. “Saya menduga, kritik dari banyak kalangan itu adalah karena frasa dalam permendikbud ini seolah-olah membolehkan hubungan seks di lingkungan kampus, jika keduanya sama-sama suka,” ujar Jejen, merujuk frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam pasal 5 ayat 2.

Menurutnya, frasa tersebut berpotensi menggiring opini bahwa perzinahan jika dilakukan suka sama suka maka tidak menjadi masalah. Dia juga mengkritisi pasal yang menjelaskan tentang pembentukan satuan tugas anti kekerasan seksual di lingkungan kampus, yang menurutnya selama ini telah diemban oleh dekan, kepala prodi, dan ketua bidang kemahasiswaan.

“Kita juga di fakultas dan universitas ada senat yang selama ini bertugas mengadili dan menyidang kasus kekerasan seksual di kampus,” ujarnya.

Menurutnya, keprematuran peraturan ini membuat kritik dan protes dari beragam pihak menjadi lazim terjadi. Jejen mengatakan, jika penyusunan peraturan ini telah mengikuti standar yang ada, maka sudah sepatutnya tim ahli, perancang naskah hukum, hingga para pakar yang terlibat dapat memahami lemahnya frasa yang digunakan.

“Kritik atas permendikbud ini memang harus digaungkan karena kita tidak tahu, pihak mana saja yang dilibatkan, bagaimana proses pembuatannya, hingga uji publiknya,” ujarnya.

Dia menyarankan agar peraturan ini direvisi kembali dan disusun ulang dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat, termasuk ikatan dosen atau aktivis pendidikan. Pelibatan ormas Islam dan Majelis Ulama Indonesia juga dapat menjadi pertimbangan, mengingat Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim, kata dia.

“(Permendikbudistek) Harus direvisi, ditunda dulu perilisannya, dan tentu harus melibatkan ahli, asosiasi yang otoritatif di bidang ini karena ini bukan hanya mencangkup persoalan hukum, tapi juga budaya, karakter, dan agama,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement