Rabu 03 Nov 2021 13:01 WIB

Presidential Threshold di Mata Parpol Islam 

Pembahasan PT berlangsung alot karena tiap partai punya suara berbeda.

Deklarator dari Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) La Ode Basir (kedua kanan) bersama Dani Kusuma (kedua kiri), M. Iqbal Siregar (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tentang Deklarasi Anies Baswedan for Presiden 2024 di Gedung Joang 45, Jakarta, Rabu (20/10). Kelompok relawan ANIES mendeklarasikan dukungan untuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju pada pemilihan presiden tahun 2024. (Ilustrasi)
Foto:

Kompetisi tidak sehat

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, menyindir penerapan PT dalam perhelatan Pilpres 2024. Dia menyebut, PT hanya membuat kompetisi Pilpres 2024 tak berlangsung adil karena paslon yang muncul kemungkinan besar hanya nama lama.

"PT Pilpres membuat kompetisi tidak sehat karena paslon yang muncul sangat terbatas, 2 paslon saja," kata Prof Zuhro kepada Republika, Selasa (2/11).

Zuhro mengingatkan, dua kali pemilu yang diikuti 2 paslon pada 2014 dan 2019 justru menghasilkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional. PT Pilpres, juga membuat fungsi representasi tidak efektif karena paslon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja.

Menurut dia, sistem multi partai banyak dan masyarakat Indonesia yang majemuk, tak seharusnya hanya memunculkan dua paslon saja. "Diperlukan beberapa paslon yang bisa merepresentasikan aspirasi dan kepentingan pemilih yang majemuk," ujar Prof Zuhro. 

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego angkat bicara mengenai wacana menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan kemungkinan mengurangi atau menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Indonesia. Indria mengusulkan, ambang batas parlemen dinaikkan dan presidential threshold diganti dengan sistem konvensi.

"Kalau tujuannya mau mengurangi jumlah partai politik (parpol), maka parliamentary threshold memang harus dinaikkan," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (2/11).

Sebab, parliamentary threshold yang diterapkan saat ini membuat parpol yang mendapatkan suara 25 kursi saja bisa berada di Senayan dan menjadi wakil rakyat. Artinya, efek positif kalau parliamentary threshold dinaikkan adalah calon yang nantinya duduk di parlemen tidak asal mendapatkan suara saja. Selain itu, parpol harus mendapatkan suara yang cukup besar mewakili pemilih. 

Sebagai pengamat politik, dirinya mengaku telah mengusulkan parliamentary threshold jadi 5 persen. Meski parliamentary threshold sudah bertambah, yang semula 3,5 persen menjadi 4 persen namun itu dinilai masih kurang. 

Sementara terkait presidential threshold tak bisa dihapus, Indria menilai, itu jadi upaya membatasi jumlah peserta dalam pemilihan presiden (pilpres). Jadi, tidak semua orang yang mendaftar kemudian langsung menjadi capres. 

Dia mencontohkan, sistem ini sama seperti pilpres di Amerika Serikat (AS) yang menggunakan sistem konvensi. Ketkka sistem konvensi diterapkan, ungkap dia, presiden terpilih didukung oleh pemilih yang cukup representatif. Selain itu, calon presiden yang tidak harus berasal dari partai. 

 

"Karena kan sekarang (capres di Indonesia) harus didukung oleh parpol minimum 20 persen. Sementara sistem capres di AS meski tanpa parpol tetap bisa mencalonkan diri atau independen," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement