Rabu 03 Nov 2021 05:30 WIB

Pakai Akun Bodong di Medsos, Taktik Militer Kuasai Myanmar

Junta Myanmar menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan memantau pembangkang

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Para pengunjuk rasa memegang plakat dengan gambar kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing (kiri), Presiden China Xi Jingping (2-R) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Junta Myanmar menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan memantau pembangkang.
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
Para pengunjuk rasa memegang plakat dengan gambar kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing (kiri), Presiden China Xi Jingping (2-R) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, 13 Februari 2021. Junta Myanmar menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan memantau pembangkang.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Sejak kudeta, militer Myanmar berupaya memadamkan aksi unjuk rasa di jalan-jalan kota di seluruh negeri. Tak hanya melancarkan pelarangannya secara langsung, pertempuran paralel militer ternyata juga menjamur di media sosial.

Junta menggunakan akun palsu untuk mencela lawan dan menekan prinsipnya bahwa mereka merebut kekuasaan untuk menyelamatkan bangsa dari kecurangan pemilu. Junta memang dilarang pergerakannya oleh platform media sosial Facebook sejak 1 Februari. Namun langkah junta kian agresif dengan menugaskan ribuan pasukannya untuk melakukan 'pertempuran informasi'.

Baca Juga

Menurut sumber militer, misi dari gerakan media sosial junta adalah bagian dari operasi propaganda militer yang lebih luas untuk menyebarkan pandangan junta di antara penduduk. Seperti diketahui, Facebook adalah platform media sosial yang dominan di negara tersebut.

Tentara meluncurkan 'pertempuran informasi' juga untuk memantau pembangkang dan menyerang secara daring dengan menyebutnya sebagai pengkhianat. Menurut informasi dari tentara yang membelot dan bergabung dengan pasukan pemberontak, Kapten Nyi Thuta, para junta diminta untuk membuat beberapa akun palsu dan diberikan segmen konten serta poin pembicaraan yang harus mereka unggah.

"Mereka juga memantau aktivitas daring dan bergabung dengan grup daring (anti-kudeta) untuk melacak mereka," ujarnya. Pria berusia 31 tahun itu mengatakan dirinya adalah bagian dari operasi propaganda tentara sampai dia membelot.

Hingga kini, juru bicara pemerintah militer tidak menanggapi permintaan berulang kali untuk mengomentari taktik media sosialnya. Pada September, seorang juru bicara junta di Myawaddy TV milik tentara menuduh kelompok media dan aktivis oposisi menyebarkan berita palsu tentang situasi di Myanmar.

Delapan orang yang mengetahui drive media sosial junta semuanya meminta untuk tidak disebutkan namanya sebab ketakutan akan pembalasan. Namun pengecualian berlaku untuk Nyi Thuta dan Kapten Lin Htet Aung yang membelot dari tentara pada April.

Militer yang dikenal sebagai Tatmadaw, mendorong kampanyenya secara daring bahkan ketika mereka melakukan halauan protes di jalan-jalan. Junta mengeklaim Liga Nasional untuk Demokrasi telah curang memenangkan pemilihan November 2020. Pengawas pemilu internasional mengatakan dalam laporan Mei bahwa pemungutan suara itu adil.

Tinjauan Reuters terhadap ribuan unggahan media sosial pada 2021 merekam 200 personel militer menggunakan akun pribadi mereka di platform media sosial termasuk Facebook, YouTube, TikTok, Twitter, dan Telegram. Junta mengunggah pesan atau video yang menuduh kecurangan dalam pemilihan dan mencela pengunjuk rasa anti kudeta sebagai pengkhianat.

Dalam lebih dari 100 kasus, pesan atau video digandakan oleh belasan akun peniru dalam beberapa menit serta di grup daring juga. Konten itu tersebar di saluran penggemar untuk selebritas Myanmar dan tim olahraga dan media berita. Data ini didapat dari alat pelacakan daring milik Facebook Crowdtangle.

Baca juga : Populasi Muslim yang Meningkat dan Islamofobia di Kanada

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement