REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dedy Darmawan Nasution, Dessy Suciati Saputri
Penghapusan cuti bersama di masa liburan Natal dan akhir tahun diprediksi akan kembali menghantam industri pariwisata Tanah Air. Upaya pemulihan ekonomi sektor pariwisata menjadi terhambat karena pemerintah harus menekan mobilitas untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19.
Ketua Umum Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies atau Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Nunung Rusmiati menyesalkan kebijakan penghapusan cuti bersama pada akhir tahun yang telah diputuskan pemerintah. Ia memahami kebijakan tersebut diambil untuk melindungi masyarakat dan menghindari gelombang ketiga Covid-19 yang berpotensi terjadi pada libur panjang Natal dan Tahun Baru, namun akhir tahun adalah momentum potensial bergeraknya pasar domestik.
"Ini aspirasi para anggota kami juga, kami menyesalkannya dalam arti positif. Kami tahu pemerintah ingin menekan Covid-19, tapi ini sudah dua tahun. Kami paham parameternya, prokes, mari bersama-sama memulihkan pariwisata," kata Nunung, Jumat (29/10).
Nunung memastikan industri pariwisata, khususnya agen perjalanan, telah berusaha untuk menerapkan protokol kesehatan ketat. Mulai dari melakukan vaksinasi kepada pekerjanya serta memenuhi standar protokol kesehatan CHSE yang diwajibkan oleh Kemenparekraf.
Menurut dia, penghapusan cuti bersama kontradiktif dengan kepedulian pemerintah untuk segera memulihkan sektor pariwisata. "Yang kami sesalkan kenapa harus dihapus padahal kami sudah berusaha penuhi CHSE, semua divaksin. Tapi kami sangat berterima kasih Presiden sudah concern untuk majukan pariwisata, begitu juga dengan Pak Menteri Sandi (Menparekraf) yang terus mendukung langkah positif," katanya.
Nunung menilai pemulihan pariwisata perlu dilakukan segera agar perputaran ekonomi bisa terjadi. Ia mengatakan bahkan negara-negara lain telah membuka pariwisata padahal sudah menerapkan lockdown dalam waktu lama.
"Contoh Malaysia, dari awal lockdown, jalan saja. Turki juga begitu, sudah dibuka dari September tahun lalu, jalan saja. Kami paham rem dan gas memang berproses. Tapi mungkin kita bisa mulai pelan-pelan ngegas. Masyarakat juga sudah bosan dengan ini," ungkap Nunung.
Wakil Ketua Asita Budijanto Ardiansjah memahami, kebijakan peniadaan cuti bersama Natal dan tahun baru ditiadakan pemerintah demi mencegah adanya pergerakan masyarakat yang tinggi yang dapat menyebabkan penularan Covid-19 kembali meningkat. Namun, momen akhir tahun dinilai sulit untuk mencegah masyarakat tidak memanfaatkan untuk liburan.
Apalagi, kata Budi, perusahaan swasta justru banyak yang biasanya meliburkan diri menjelang pergantian tahun. Adapun lembaga pemerintah, program-program kerja maksimal diselesaikan sekitar tanggal 20 Desember. Di satu sisi, pada masa pandemi, beban pekerjaan juga tidak begitu besar karena adanya keterbatasan aktivitas.
"Saya tidak mau mengatakan kebijakan itu efektif mencegah kerumunan, tapi peniadaan liburan di akhir tahun itu rasanya tidak akan memberikan efek yang besar," ujarnya.
Kebijakan pemerintah dalam menggeser tanggal merah dalam hari-hari besar sepanjang tahun ini, dinilai Budi memang efektif mencegah kerumunan. Pasalnya, itu dilakukan memang bukan dalam momentum liburan apalagi waktu libur juga terbatas.
Sejauh ini, Budi menuturkan, aktivitas wisata saat ini masih didominasi wisata jarak dekat. Khusus wisata jarak jauh yang memerlukan transportasi udara kembali mengalami kendala akibat aturan pemerintah yang mewajibkan tes PCR.
"Kemarin sudah sempat menggeliat cuma ada PCR jadi tersendat lagi. Kita masih menganalisa sejauh apa dampaknya. Meskipun biaya PCR diturunkan tapi kan tidak semua orang punya uang berlebih," kata Budi.
Ketua Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia Prof Iris Rengganis mengatakan perayaan Natal dan Tahun Baru 2021 memang memberi tantangan besar kepada pemerintah dalam upaya pengendalian Covid-19. "Natal dan Tahun Baru itu identik dengan semua orang bereuforia, tidak hanya yang merayakan Natal, tapi yang Muslim pun ramai di mal-mal," kata Iris Rengganis, Jumat (29/10).
Iris mengatakan Natal dan Tahun Baru memberi tantangan besar kepada pemerintah sebab muncul juga dorong dari berbagai kalangan untuk tetap menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Selain itu, pemerintah juga perlu menjamin keberlangsungan ekonomi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang saat ini kian melandai.
Iris mendukung langkah PPKM serta peniadaan agenda cuti bersama di saat Natal 2021 untuk mencegah kerumunan masyarakat yang berisiko memicu gelombang lanjutan Covid-19. Untuk itu, Iris memandang perlu adanya konsistensi pemerintah dan masyarakat dalam mencegah terjadinya gelombang ketiga Covid-19 yang diramalkan para pakar terjadi di awal 2022.
Salah satu konsistensi yang dimaksud adalah percepatan vaksinasi Covid-19. Alasannya, wacana pemberian vaksin penguat atau booster kepada masyarakat umum pada 2022 merupakan bukti bahwa dua dosis vaksin saja tidak cukup melindungi masyarakat dari inveksi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Pemerintah menyatakan harus ada booster tahun depan, artinya dua kali vaksin itu belum cukup cegah virus corona. Bahkan produsen Sinovac, Pfizer dan Moderna mengatakan harus tiga kali suntik. Semua itu perlu konsistensi kita untuk menjaga prokes dan setelah PPKM dilonggarkan, vaksinasi harus tetap berjalan," katanya.