Kamis 28 Oct 2021 17:34 WIB

Jampidsus Sita Rp 11 Miliar Terkait Korupsi Askrindo

Uang sitaan diduga sebagai uang share komisi yang didapat para tersangka.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Nezer Simanjuntak (kiri) menyempaikan konferensi pers terkait pemulangan DPO Adelin Lis di Aula Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (19/6). Buronan kejaksaan agung selama 13 tahun tersebut ditangkap otoritas Bandara Singapura dan dipulangkan secara deportasi akibat menggunakan paspor dengan data palsu. Adelin Lis terlibat kasus pembalakan liar dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp119 miliar oleh Mahkamah Agung pada 2008. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Nezer Simanjuntak (kiri) menyempaikan konferensi pers terkait pemulangan DPO Adelin Lis di Aula Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (19/6). Buronan kejaksaan agung selama 13 tahun tersebut ditangkap otoritas Bandara Singapura dan dipulangkan secara deportasi akibat menggunakan paspor dengan data palsu. Adelin Lis terlibat kasus pembalakan liar dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp119 miliar oleh Mahkamah Agung pada 2008. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung) menyita uang total Rp 11,7 miliar terkait penyidikan dugaan korupsi di PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), dan PT Askrindo Mitra Utama (AMU) 2016-2020. Sitaan uang dalam bentuk rupiah, dolar Amerika Serikat (AS), dan dolar Singapura itu, diduga sebagai uang share komisi yang didapat para tersangka kasus tersebut.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, uang share komisi tersebut terdiri atas Rp 611,4 juta, dan 762,9 ribu dolar AS (Rp 10,8 miliar), serta 32 ribu dolar Singapura (Rp 336,6 juta). “Saat ini, sedang dilakukan penghitungan kerugian negara oleh BPK, dan BPKB, dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Askrindo, dan AMU,” ujar Ebenezer, Kamis (28/10).

Baca Juga

Kasus dugaan korupsi di Askrindo, terkait dana operasional fiktif yang terjadi di AMU pada 2016-2020. Penyidikan yang dilakukan sejak Juni 2021 sementara ini sudah menetapkan dua orang tersangka, Rabu (27/10). Para tersangka tersebut, yakni Wahyu Wisambodo (WW), selaku mantan karyawan di AMU, dan mantan direktur pemasaran AMU. Satu tersangka lagi, yakni Firman Berahima (FB), mantan karyawan di Askrindo, dan mantan direktur Kepatuhan dan SDM Askrindo.

“Untuk mempercepat proses penyidikan, dua tersangka tersebut, yakni WW, dan FB dilakukan penahanan,” kata Ebenezer.

Penahanan dilakukan sejak penetapan tersangka resmi diundangkan, Rabu (27/10). “Tersangka WW dan FB, menjalani masa penahanan pertama selama 20 hari, terhitung sejak ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Ebenezer.

Periode penahanan tahap pertama, akan berakhir sampai 15 November mendatang. “Namun, untuk kebutuhan penyidikan, jangka waktu penahanan sesuai KUHAP, dapat diperpanjang,” terang Ebenezer.

Direktur Penyidikan di Jampidsus, Supardi menerangkan, kasus dugaan korupsi di Askrindo, dan AMU terjadi pada kurun 2016-2020. “PT Askrindo, adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mempunyai anak perusahaan, yaitu PT AMU,” ujar Supardi, Kamis (28/10).

Kata dia, dalam kurun waktu terjadinya kasus, terdapat pengeluaran komisi agen dari Askrindo ke AMU yang dilakukan dengan cara tidak sah. “Yaitu, dengan cara melakukan pengalihan produksi langsung Askrindo, menjadi seolah-olah produksi tidak langsung melalui AMU,” ujar Supardi.

Kemudian, kata dia, dari pengalihan produksi tersebut, sebagian diantaranya dikeluarkan lagi kepada sejumlah pejabat di Askrindo. Pengeluaran tersebut, dilakukan dengan cara tunai yang seolah-olah sebagai beban operasional. Namun tanpa didukung dengan bukti-bukti pertanggungjawaban.

“Jadi ini, pertanggungjawabannya fiktif, yang merugikan keuangan negara,” ujar Supardi. Akan tetapi, kata dia, total kerugian negara terkait kasus tersebut, masih terus dalam penghitungan di BPK, dan juga BPKP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement