Jumat 22 Oct 2021 08:01 WIB

PPP: Tak Ada Kebijakan untuk Kepala Daerah Cari Dana Pemilu

Partai berlambang Ka'bah itu mengusulkan adanya kenaikan dana untuk partai politik. 

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi III DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/10).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan, korupsi yang dilakukan oleh seorang kepala daerah bukan merupakan kebijakan partai. Sebab, dia yakin, partai tak akan mengeluarkan kebijakan bagi kepala daerah untuk mencari dana pemilihan umum (Pemilu).

"Tidak ada lah parpol yang kemudian mengeluarkan kebijakan meskipun itu non-formal, untuk katakanlah memerintahkan kepala daerah yang kadernya itu mencari dana-dana dalam rangka pemilu dengan cara yang tidak halal," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/10).

Meski begitu, dia mengakui, adanya kultur politik yang menyebabkan banyak kepala daerah ingin berkontribusi untuk partainya. Namun ditegaskannya, itu bukan merupakan arahan dari partai politik.

"Untuk katakanlah mencegah seperti itu tidak berkelanjutan, hemat saya yang pertama harus dibenahi adalah sistem pendanaan partai politik," ujat Arsul.

Untuk itu, partai berlambang Ka'bah itu mengusulkan adanya kenaikan dana untuk partai politik. Tujuannya, agar para kader tak memanfaatkan jabatan publiknya untuk mencari dana bagi partai politik.

"Setelah itu diperbaiki, menurut saya. Kemudian masih ada yang korupsi maka harus ada proses hukum yang tegas, tidak hanya terhadap kader, tetapi partai politik di pinalti," ujar Wakil Ketua MPR itu.

Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), telah menjadi "bumerang" bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia. Bahkan, hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. 

Dia menilai, tidak mengherankan apabila ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar "balik modal". Menurut dia, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru adalah seorang anggota DPR dengan istrinya yang merupakan seorang bupati ditangkap KPK.

Dia mengatakan, kerusakan sebuah negara demokrasi, bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya terutama yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. "Segera dilakukan pembenahan agar parpol dan sistem demokrasinya sehat. Partai politik itu sebenarnya lembaga pemikiran untuk mengintroduksi cara berpikir dalam penyelenggaraan negara, namun sekarang justru menjelma menjadi mesin kekuasaan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement