REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kampanye propaganda yang diatur oleh Inggris memainkan peran penting dalam salah satu pembantaian paling brutal pada abad ke-20 pascaperang, dalam pengungkapan bukti baru yang mengejutkan. Para pejabat Inggris diam-diam menyebarkan propaganda hitam pada 1960-an untuk mendesak orang-orang Indonesia terkemuka untuk memotong 'kanker komunis'.
Dilaporkan The Guardian, Ahad (17/10), diperkirakan setidaknya 500 ribu orang, beberapa memperkiraan mencapai tiga juta orang, yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersingkir antara tahun 1965 dan 1966.
Dokumen Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang baru-baru ini dibuka menunjukkan, propagandis Inggris diam-diam menghasut kelompok antikomunis, termasuk jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), untuk melenyapkan PKI.
Kampanye pembunuhan massal yang tampaknya spontan, sekarang diketahui telah diatur oleh tentara Indonesia, kemudian digambarkan oleh Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk abad ini.
Ketika pembantaian dimulai pada Oktober 1965, para pejabat Inggris menyerukan “PKI dan semua organisasi komunis” untuk “dihilangkan”. Inggris memperingatkan Indonesia akan berada dalam bahaya "selama para pemimpin komunis masih buron dan pangkat dan anggota mereka dibiarkan bebas dari hukuman".
Baca juga : Media Rusia Tuding Inggris Terlibat Dalam Pembantaian 1965
Inggris melancarkan serangan propagandanya terhadap Indonesia sebagai tanggapan atas permusuhan Presiden Sukarno terhadap pembentukan bekas jajahannya ke dalam Federasi Malaysia yang sejak tahun 1963 mengakibatkan konflik dan serangan bersenjata oleh TNI yang melintasi perbatasan.
Pada 1965, propagandis spesialis dari Departemen Penelitian Informasi (IRD) Kemenlu dikirim ke Singapura untuk memproduksi propaganda hitam untuk melemahkan rezim Sukarno. PKI adalah pendukung kuat, baik Presiden Sukarno maupun gerakan konfrontasi dengan Malaysia.
Pada pertengahan 1965 operasi itu berjalan lancar, tetapi upaya kudeta oleh perwira militer sayap kiri, dan secara diam-diam, oleh agen-agen PKI, di mana tujuh jenderal TNI AD dibunuh, memberikan kesempatan untuk berdampak nyata pada berbagai peristiwa.
Kudeta PKI itu dengan cepat dihancurkan oleh Jenderal Soeharto, yang kemudian memulai perebutan kekuasaan secara bertahap dari Sukarno dan menghapus PKI, yang saat itu merupakan partai komunis terbesar nomor tiga di luar Cina dan Rusia.
Selama pekan-pekan berikutnya, pembantaian terhadap orang-orang yang diduga sebagai anggota PKI, sedikit jika ada yang terlibat dalam percobaan kudeta, dan kaum kiri lainnya menyebar ke seluruh Nusantara.
Menurut Dr Duncan Campbell, seorang jurnalis investigasi dan pakar GCHQ (Badan Intelijen Inggris), mereka memiliki teknologi yang memungkinkan pendengar untuk "menemukan posisi komandan dan unit militer Indonesia yang mengirim, menyampaikan dan menerima perintah untuk penangkapan dan pembunuhan mereka yang diduga terkait dengan PKI."
Sebuah surat kepada duta besar Inggris di Jakarta dari 'koordinator perang politik' seorang spesialis propaganda Kemenlu bernama Norman Reddaway, yang tiba di Singapura setelah percobaan kudeta, mengungkapkan, kebijakan tersebut adalah “untuk menyembunyikan fakta bahwa pembantaian telah terjadi dengan dorongan para jenderal”, dengan harapan bahwa para jenderal “akan membuat kita lebih baik daripada geng lama”.
Hanya saja, Republika mencatat, media ini tidak mengulas sama sekali ketika PKI masih berkuasa di era Sukarno dan hanya fokus PKI sebagai korban.