Kamis 14 Oct 2021 18:38 WIB

Polisi Banting Mahasiswa, Polri Akui Ada Kesalahan Prosedur

Bentuk hukuman terhadap Brigadir NP disebut tergantung hasil pemeriksaan Propam.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ilham Tirta
Potongan video seorang polisi membanting seorang mahasiswa dalam aksi demonstrasi di Tangerang.
Foto: Tangkapan Layar
Potongan video seorang polisi membanting seorang mahasiswa dalam aksi demonstrasi di Tangerang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri mengakui aksi brutal anggota kepolisian yang membanting mahasiswa saat unjuk rasa ricuh di Tiga Raksa, Tangerang, sebagai bentuk pelanggaran prosedural. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri, Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, Brigadir NP, pelaku kekerasan itu kini sedang menjalani proses untuk menerima sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.

Kasus tersebut saat ini sepenuhnya dalam penanganan Propam Polda Banten. “Ini merupakan bentuk ketegasan Kapolda Banten, untuk menyikapi petugasnya yang tidak sesuai standar operating procedure (SOP) yang berlaku di lingkungan Polri,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/10).

Pelanggaran SOP tersebut terkait cara Brigadir NP melakukan pengamanan aksi mahasiswa saat unjuk rasa tersebut. “Tidak sesuai SOP, itu tentang bagaimana penanganan aksi unjuk rasa. Tentu atas perbuatannya itu, Kapolda Banten, dengan tegas akan memberikan sanksi (terhadap Brigadir NP),” ujar Ramadhan.

Bentuk sanksi, kata dia, akan sesuai mekanisme dari hasil pemeriksaan di Propam saat ini. Agar masyarakat percaya Polri, ia mengeklaim akan tetap menindak tegas para anggotanya yang terbukti melakukan kesalahan.

“Percayakan kepada Polri penanganan kasus ini. Tentu kita akan sesuai prosedur, dan aturan yang berlaku. Polda Banten sudah meyakinkan, penanganan terhadap anggotanya yang tidak sesuai prosedur pengamanan demonstrasi akan ditindak tegas. Itu yang sudah disampaikan,” ujar Ramadhan.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti mengatakan, kejadian di Tiga Raksa, Tangerang, harus menjadi pelajaran bagi Polri untuk menyudahi aksi-aksi brutalisme mereka saat mengamankan unjuk rasa. Kata dia, perlu ada penegasan ulang dan berkali-kali oleh Kapolri maupun pemimpin kepolisian di daerah agar para anggotanya di lapangan taat asas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Baca juga : Eks Pegawai KPK Bakal Dirikan Parpol, Ini Namanya

Perkap Polri 1/2009 dan Perkap Polri 8/2009 menguatkan tentang penggunaan kekuatan yang tidak berlebihan. Implementasi prinsip HAM oleh kepolisian juga ditekankan dalam menghadapi situasi di lapangan. “Kasus di Tangerang, ini harus menjadi refleksi bagi Polri,” kata Poengky.

Terkait sanski, Poengky mengatakan, bisa saja Brigadir NP dijerat dengan pidana. Namun sanksi pidana tersebut tergantung dari hasil penyelidikan yang saat ini masih di bawah kendali Propam.

“Jika Propam melihat ada tindak pidana, bisa saja diarahkan untuk diperiksa di Reskrim (Reserse Kriminal),” ujar Poengky.

Pasal 351 KUH Pidana bisa diterapkan dalam pemberian sanski terhadap anggota kepolisian yang melakukan kekerasan tanpa dasar. Selain saksi pidana, bisa juga sanski disiplin dan kode etik. “Tergantung berat atau ringannya perbuatan. Kita tunggu saja apa yang dihasilkan dari pemeriksaan di Propam,” kata Poengky.

Aksi brutal Brigadir NP terjadi pada Rabu (13/10), saat mengamankan demonstrasi mahasiswa di Tiga Raksa, Tangerang. Saat petugas kepolisian menangkap para pendemo, terekam seorang polisi berseragam hitam-hitam membanting peserta unjuk rasa ke trotoar beton. Kejadian itu membuat si mahasiswa kejang-kejang tak sadarkan diri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement