Rabu 13 Oct 2021 11:12 WIB

KNKT: Penyebab Kecelakaan Didominasi Faktor Geometrik Jalan

KNKT mengungkap faktor dominan yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas jalan.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Mas Alamil Huda
Kondisi sebuah mobil travel yang mengalami kecelakaan di kilometer 134 Jalan Tol Purbaleunyi di Pasir Koja, Bandung, Jawa Barat, Ahad (3/10/2021).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Kondisi sebuah mobil travel yang mengalami kecelakaan di kilometer 134 Jalan Tol Purbaleunyi di Pasir Koja, Bandung, Jawa Barat, Ahad (3/10/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap faktor dominan yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas jalan. Kecelakaan lalu lintas jalan saat ini menjadi penyebab kematian, cedera, dan kecacatan yang dominan di seluruh dunia.

"Berdasarkan hasil investigasi yang kerap kali dilakukan menunjukkan, penyebab terjadinya kecelakaan didominasi oleh faktor geometrik jalan," kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam media rilis 'Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang Disebabkan Faktor Geometrik Jalan' yang disiarkan secara daring, Selasa (12/10).

Saat ini, kurang lebih sebanyak 1,3 juta orang meninggal dunia. Lalu sekitar 20-50 juta orang terluka akibat kecelakaan jalan pada setiap tahunnya. Soerjanto menuturkan, sebagian besar jalan di Indonesia bukan jalan yang sengaja dibangun.

"Ini melainkan jalan peninggalan zaman Belanda, jalan tikus, jalan setapak, dan jalan lingkungan yang kemudian dilebarkan dan diperkeras sehingga tampak menjadi bagus," jelas Soerjanto.

Dia mengatakan, jalan tersebut terbangun tanpa melalui kaidah keselamatan infrastruktur jalan yang baik. Infrastruktur jalan yang baik terdiri atas audit keselamatan jalan, inspeksi keselamatan jalan, analisa dampak keselamatan jalan, manajemen daerah rawan kecelakaan, serta laik fungsi jalan.

"Sangat mungkin jalan tersebut menyimpan banyak hazard yang bisa kapan saja menyebabkan orang celaka," ujar Soerjanto.

Baca juga : Kecelakaan Maut di Pulau Ambon, Tiga Orang Tewas

Dia menjelaskan, studi kasus pertama dilakukan pada elemen penampang jalan melintang yang terjadi di Ruas Jalan Solo-Ngawi. Kecelakaan diawali dengan konvoi antara sepeda motor membawa muatan barang, bus Safari Dharma Raya, bus Mira, bus Sumber Selamat, dan Toyota Innova dari arah Solo menuju Ngawi, tepatnya di kilometer 8-9.

"Saat bus Mira mencoba mendahului sepeda motor dari arah berlawanan ada Bus Eka sehingga terjadi tabrakan beruntun yang melibatkan tiga bus dan satu mobil penumpang," ungkap Soerjanto.

Dia menuturkan, Jalan Arteri Primer Kelas II dengan lebar 7 meter 2/2 UD, bahu jalan 1,5 meter, dan kondisi jalan lurus. Soerjanto menegaskan, hazard pada kasus tersebut yaitu adanya desain kecepatan tinggi, mixed traffic (gap kecepatan), tabrak depan dan tabrak belakang. KNKT merekomendasikan perlu dilakukan survei inspeksi keselamatan jalan dan segregasi lalu lintas dengan kecepatan yang berbeda. Selain itu juga manajemen traffic calming.

Lalu studi kasus kedua yaitu pada elemen alinyemen horizontal di Tikungan Harmoko Musi Banyuasin. Soerjanto mengatakan, di lokasi tersebut kerap kali terjadi secara berulang kecelakaan tunggal kendaraan terguling atau menabrak tebing. "Hazard tersebut sudah ada sejak Pak Harmoko masih menjabat sebagai Menteri Penerangan," tutur Soerjanto.

Dia mengatakan, pada lokasi tersebut terdapat Jalan Arteri Primer Kelas II dengan lebar 6 meter 2/2 UD, bahu jalan satu meter, dan kondisi jalan berkelok. Kecelakaan dialami oleh bus Antar Kota dan Antar Provinsi (AKAP) yang menewaskan empat korban jiwa.

"Identifikasi hazard pada kasus kecelakaan tersebut yaitu tikungan patah setelah jalan lurus, adanya tikungan ganda searah, dan minimnya informasi delineasi jalan," ungkap Soerjanto. KNKT merekomendasikan adanya perbaikan informasi delineasi jalan. Begitu juga dengan pradesain perbaikan geometrik tikungan dan perbaikan geometrik tikungan.

Selanjutnya, pada studi kasus ketiga yaitu pada elemen alinyemen vertikal pada Tebing Breksi Sleman Jogja. Soerjanto mengatakan terdapat perbedaan tinggi sebesar 191 meter dengan gradien maksimal 35 persen sejauh 1,81 kilometer. Kendaraan Isuzu NHR 55 memiliki torsi dengan gradeability sebesar 25 persen. Saat dipaksa naik mesin mengalami overheat dan v-belt putus.

Baca juga : Umrah Dibuka karena Penanganan Covid-19 Indonesia Membaik

Lalu pengemudi dan pemilik kendaraan tidak memahami sistem rem. Pengemudi tetap melanjutkan perjalanan turun ke bawah, sehingga terjadi rem blong dan mengakibatkan enam orang meninggal dunia. Soerjanto mengatakan, hazard yang ditemukan yaitu adanya turunan panjang ekstrem, jalan beton, dan drainase beton. Selain itu juga minimnya informasi delineasi jalan.

"Rekomendasi yang harus ditindaklanjuti di antaranya perbaikan informasi delineasi jalan, penyediaan forgiving road, dan pemberian edukasi terkait delineasi jalan," jelas Soerjanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement