REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perluasan lahan dinilai tidak menjamin peningkatan produktivitas pangan nasional. Sebaliknya, malah berpotensi merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim, sehingga tidak boleh dijadikan solusi utama dalam menjawab tantangan pangan Indonesia.
“Jumlah penduduk terus meningkat. Namun jumlah lahan yang tersedia akan tetap sama dan harus berbagi dengan kebutuhan infrastruktur dan industrialisasi. Sehingga, kemampuan produktivitas di lahan pertanian yang ada harus ditingkatkan untuk bisa mengikuti pertumbuhan permintaan makanan,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, Selasa (12/10).
Sayangnya, produktivitas sektor pertanian di Indonesia masih rendah karena kurangnya riset dan inovasi untuk asupan yang unggul, serta keterbatasan adopsi praktik budidaya yang baik dan penggunaan teknologi pertanian.
Dalam komoditas padi misalnya, pencetakan sawah baru apalagi di lahan gambut akan menghabiskan waktu yang lama. Selain belum tentu bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi, karakteristik lahan yang dibuka untuk pertanian juga belum tentu cocok.
“Proyek mencetak lahan sawah baru tidak tepat untuk meningkatkan ketahanan pangan. Jika dilakukan secara tergesa-gesa, proyek pencetakan lahan sawah baru yang memakan modal besar ini malah menimbulkan risiko gagal panen yang merugikan petani dan risiko kerusakan lingkungan yang lebih besar,” bebernya.
Felippa mengungkapkan, program cetak sawah dengan membuka lahan juga berisiko mengancam ekosistem yang ada hingga merusak keseimbangan lingkungan. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak mengulang kesalahan dengan menciptakan program pencetakan sawah secara masif.
Ia mengatakan, pemerintah sebaiknya memperkuat produksi pangan yang ada dengan mendukung riset dan inovasi asupan dan teknologi pertanian serta meningkatkan kapasitas petani agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Penelitian CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja melalui penggunaan bibit unggul, peningkatan akses pada pupuk, penanganan serangan hama/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan penggunaan alat mesin pertanian atau mekanisasi.
"Selain itu, juga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi, modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian," ujarnya.