Ahad 10 Oct 2021 12:49 WIB

Kilas Balik Kereta Cepat, Ditolak Jonan dan Kini Pakai APBN

Di era SBY, Jepang sudah lakukan FS, tapi Kereta Cepat dikerjakan Cina di era Jokowi.

Rep: Erik PP/Satria Kartika Yudha/Dessy Suciati Saputri/Arie Lukihardianti/ Red: Erik Purnama Putra
Progres konstruksi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) di Lembah Teratai, Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (8/8).
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Progres konstruksi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) di Lembah Teratai, Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, Ahad (8/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah digagas pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemerintah Jepang pun sudah melakukan studi kelayakan atau feasibility study (FS) bisnis agar pembangunan Kereta Cepat tersebut dapat terwujud. Jepang sudah melakukan penelitian mulai 2012. Namun, ketika Presiden SBY lengser, proyek itu tiba-tiba beralih dimenangkan Cina.

Dalam pemberitaan Republika pada 4 September 2015,  pemerintah Jepang mengaku kecewa dengan keputusan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang tidak menggunakan teknologi Sinkansen untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Yasuaki Tanizaki menyampaikan, meski pemerintah RI tetap menyebut proyek Kereta Cepat berlanjut, dengan meminta penurunan kecepatan secara definitif, tidak ada lagi yang namanya Kereta Cepat.

Pemerintah RI meminta kecepatan kereta menjadi sekitar 250 kilometer (km) perjam. Padahal, kereta Shinkansen Jepang mampu melaju hingga 350 km per jam. Hal itulah yang membuat pemerintah Jepang kecewa. Pasalnya, negeri Matahari Terbit tersebut telah melakukan studi tentang Kereta Cepat Jakarta-Bandung selama tiga tahun, dan dengan dana yang tidak kecil.

Tanizaki menyampaikan, ada dua kekecewaan mendasar atas 'batalnya' proyek Jepang di Kereta Cepat. Pertama, pemerintah RI meminta perpanjangan waktu untuk lakukan feasibility study terkait Kereta Cepat. Selain itu, Jepang kecewa telah terlanjur mengeluarkan dana untuk kegiatan studi kelayakan selama ini.

Meski tidak mau menyebutkan jumlah uang yang telah keluar, Tanizaki menegaskan bahwa jerih payah Jepang akan terbayar apabila kereta cepat Shinkansen bisa diterapkan di Indonesia. "Tentu kami akan senang kalau teknologi kami bisa dipakai di sini. Kami hormati putusan pemerintah Indonesia," ujar Tanizaki.

Empat bulan berselang atau tepatnya pada 21 Januari 2016, Presiden Jokowi tiba-tiba menghadiri groundbreaking pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Perkebunan Maswati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Anehnya Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan tidak hadir di acara peletakan batu pertama proyek yang tiba-tiba dimenangkan Cina tersebut.

Adalah PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang ditunjuk sebagai penanggung jawab proyek. KCIC merupakan perusahaan patungan konsorsium pemerintah RI dan Cina. Jokowi sangat yakin, proyek tersebut tidak memakai APBN dan tanpa jaminan pemerintah.

Dia menyebutkan, APBN akan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Anggarannya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur di luar Jawa, baik jalan tol di Sumatra, baik kereta di Makassar sampai Manado. "Jangan sampai Jawa sentris lah, tetapi Indonesia sentris. Ini yang kita bangun," tutur Jokowi dikutip dari laman resmi Kemenhub.

Berselang sepekan kemudian, Menhub Jonan menuding, pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung belum bisa dimulai. Padahal, proyek itu sudah diresmikan oleh Jokowi. "Groundbreaking ya boleh saja, tapi pembangunannya belum boleh dilakukan. Izinnya belum lengkap," kata Jonan di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Kamis (28/1).

Jonan menjelaskan, dokumen yang diserahkan PT KCIC selaku investor kereta cepat, belum lengkap. Menurut Jonan, ada dua hal penting yang belum dipenuhi PT KCIC. Pertama, mengenai perjanjian konsensi. Perjanjian itu masih dalam proses negoisasi dan ada begitu banyak hal yang harus dibahas. Sedangkan yang kedua, mengenai izin pembangunan. Khususnya laporan analisis hidrologi dan hidrolika.

"Kalau tidak dipenuhi, ya tidak akan kami kasih izinnya sampai kapan pun. Karena ini menyangkut keselamatan," ujar Jonan. Tepat enam bulan kemudian, pada 27 Juni 2016, Jonan dicopot dari posisi Menhub.

Pemerintah pun menggantikan PT Wijaya Karya (WIKA) sebagai ketua konsorsium BUMN di PT KCIC untuk digantikan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Hal itu lantaran utang PT WIKA menumpuk. Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Senayan, Jakarta Pusat pada 1 September 2021, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI, Salusra Wijaya mengungkap, anggaran awal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sekitar 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp 86,52 triliun.

Namun, setelah ditelaah konsultan pada November 2020, estimasi biaya membengkak hingga menjadi 8,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 122,58 triliun. Alhasil, proyek tersebut belum juga selesai meski sudah lima tahun lebih dimulai.

Pada 6 Oktober 2021, Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubatan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Saranan Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Jokowi menunjuk Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk memimpin Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

"Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Menteri Perhubungan, yang selanjutnya disebut komite," demikian isi Pasal 3A Perpres tersebut yang diteken Jokowi pada 6 Oktober 2021, dikutip Republika di Jakarta, Sabtu (9/10).

Dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilarang menggunakan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Kini, Jokowi membolehkan pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menggunakan APBN.

Pembiayaan juga bisa dengan menerbitkan obligasi maupun pinjaman konsorsium badan usaha milik negara (BUMN). "Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," demikian isi Pasal 4 ayat 2.

Dalam perpres, dijelaskan jika pembiayaan dari APBN untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung, berupa penyertaan modal negara kepada pimpinan konsorsium BUMN dan atau penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium BUMN, atau penyertaan modal negara kepada pimpinan konsorsium BUMN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement