Senin 04 Oct 2021 13:41 WIB

Suku Moi Trauma, 'Perusahaan Sawit Kasih Kami Miskin'

Mereka (Suku Moi) tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Warga berdiri di lokasi perumahan bantuan warga asli suku Moi di Kampung Klatifi, Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (18/6/21). Pemerintah Kota Sorong membangun 28 unit perumahan tipe 45 bagi warga asli suku Moi yang selama ini hidup termarginalkan di wilayah setempat.
Foto:

Cukup dari hutan

Setiap pagi, Salmon memasuki area hutan adatnya untuk bertani, berburu, ataupun menebang kayu. Sore harinya, dia membawa pulang hasil dari hutan adat yang disebut seluas 6.600 hektare itu.

Menurut Salmon, hutan bisa memberikan hasil yang lebih banyak dibandingkan Rp 700 ribu yang didapat dari perusahaan sawit. Salah satunya dengan cara menebang Pohon Merbau alias Kayu Besi yang bisa bernilai Rp 3 hingga 6 juta per pohon.

"Uangnya bisa untuk beli makan dan biaya anak sekolah," kata Salmon. Apalagi, imbuh dia, Kayu Besi terdapat di hampir semua areal hutan adat marga Malagilik.

Potensi pemasukan juga datang dari pohon Matoa. Jika ditebang, per pohon bisa bernilai Rp 1 juta rupiah. Buah dari pohon Matoa itu bisa pula dijual Rp 10 ribu per plastik. "Satu pohon bisa hasilkan tiga karung buah Matoa. Satu karung itu 50 plastik," kata Oktovina.

Hutan, lanjut Salmon, juga menyediakan rotan, yang bisa digunakan untuk membangun rumah. Hutan turut menyediakan mereka makanan dari pohon sagu, babi, dan rusa. Dua hewan tersebut juga bisa dijual ke kota.

Dengan segala hasil yang bisa diberikan hutan, tak heran Marga Malagilik menolak tawaran korporasi sawit. "Kami masyarakat ingin kemajuan, tapi tidak merusak alam," kata Oktovina, yang ingin hutan adatnya jadi objek wisata gua kelelawar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement