REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, tantangan pemilu dan pilkada ke depan tidak hanya politik uang. Ada politik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang juga kerap terjadi di di pemilu dan pilkada.
Namun, kata Dewi, penindakan politik SARA menjadi tantangan sendiri dalam penyelenggaraan pilkada. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penindakan politik SARA termasuk ujaran kebencian hanya dapat dilakukan saat masa kampanye saja.
"Dalam undang-undang tentang pemilihan hanya dapat menjangkau praktik politisasi SARA dan ujaran kebencian pada saat masa kampanye saja," ujar Dewi dalam keterangan tertulisnya dikutip situs Bawaslu RI, Jumat (1/10).
Dia menjelaskan, terkait politik SARA termuat dalam Pasal 69 huruf b. Pasal tersebut menyebutkan dalam masa kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, dan/atau partai politik.
Di luar masa kampanye, kata Dewi Bawaslu tidak dapat menindaknya. Menurut dia, diperlukan sebuah sistem penegakan hukum komprehensif meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum terhadap penindakan praktik ujaran kebencian dan politisasi SARA saat menghadapi pemilu maupun Pilkada serentak 2024 mendatang.