Oleh : Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia
Capaian tertinggi Islam politik di Indonesia adalah kemenangan Anies di Pilkada DKI tahun 2017. Anies menyediakan dirinya menjadi wajah politik identitas populisme Islam yang sangat banal. PKS merelakan tiketnya di Pilkada DKI untuk Anies. Dan dengan pandainya, Anies menyambar peluang itu.
Sejatinya, Anies bukanlah anak kandung dari kubu Islamis-transnasionalis. Dulu, dia dikenal sebagai sosok yang pluralis dan nasionalis. Artikelnya tentang “tenun kebangsaan” dibaca dan dipuji banyak orang. Di Pilpres 2014, dia menjadi juru bicara tim pemenangan Jokowi–Jusuf Kalla.
Kemudian dia diangkat menjadi menteri pendidikan yang kemudian diberhentikan setelah tidak sampai dua tahun menjabat. Setelah lengser sebagai menteri, dia langsung menyambar peluang di Pilkada DKI 2017 dan berhasil memenangkan pertarungan elektoral paling brutal dalam sejarah republik.
oOo
Tak ayal, Anies adalah pilihan terbaik bagi PKS dan Islam politik di 2024 nanti. Untuk itu, PKS perlu menimbang Anies untuk dijadikan sebagai pimpinan partai itu setelah dia turun dari jabatan gubernur DKI tahun depan, 2022.
Dia perlu panggung menuju 2024. Survei-survei kredibel selalu menempatkan Anies di posisi tiga teratas dalam hal elektabilitas sebagai calon presiden, disamping Prabowo dan Ganjar Pranowo.
Pasangan terbaik Anies adalah AHY, putra sulung SBY yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Demokrat. Anies dan AHY potensial menjadi darah dan figur baru di pentas nasional di 2024. Mereka muda, intelek dan energik. Kubu nasionalis-pluralis perlu berpikir keras mencarikan lawan tanding yang sepadan jika tidak ingin menjadi pecundang.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa bahwa politik itu sangat dinamis. Jika tak mendapat panggung setelah 2022, bisa jadi Anies menjadi bukan siapa-siapa lagi.
oOo
Baca juga : Rekomendasi IDAI untuk Pembelajaran Tatap Muka