REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemecatan 57 pegawai KPK pada 30 September mendatang. Pemberhentian para pegawai dengan SK No.1327 dengan dalih TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) dinilai cacat, rasis, melanggar HAM dan maladministrasi.
Dalam surat terbuka tersebut, aliansi BEM Indonesia dan Gasak (Gerakan Selematkan KPK) memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi untuk berpihak dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN dalam waktu 3x24 jam sejak 23 September. “Jika bapak masih saja diam tidak bergeming, maka kami bersama elemen rakyat akan turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rasional untuk bapak realisasikan.”
Surat yang ditandatangani Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia Novrian Fadil Akbar pada Kamis (23/9) ini menjelaskan beberapa pertimbangan mengapa mereka membuat surat tersebut. Pertama, KPK dilemahkan dengan terstruktur, sistemati dan masif sejak 2019. Terutama dengan hadirnya UU KPK 19/2019 yang menjadi preseden buruk karena melemahkan independensi lembaga KPK.
BEM SI pun menegaskan, pimpinan KPK yang bertanggungjawab atas TWK KPK dan pemecatan 57 pegawai bermasalah. Menurut BEM SI, rekam jejak Firli Bahuri saat menjabat deputi penindakan KPK dinyatakan melanggar etik berat. Firli bertemu dengan pihak berperkara. Semasa menjabat sebagai direktur penindakan, ada 26 Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bocor. Dia pun terbukti melanggar etik karena gaya hidup mewah dengan naik helikopter pulang kampung ke Palembang.
Tak hanya itu, BEM SI mengutip temuan dari Ombudsman RI dan Komnas HAM yang menyatakan ada sebelas pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK. Dengan demikian, BEM SI berpendapat, pemecatan dengan dalih TWK yang cacat tidak selayaknya dilakukan.
Baca juga : 3 Masukan Presiden Jokowi kepada Dunia untuk Atasi Pandemi
BEM SI juga menyebut, Mahkamah Agung senada dengan putusan MK menegaskan hasil TWK bukanlah dasar mengangkat melainkan kewenangan ada di pemerintah. Menurut BEM SI, pemerintah dapat ditafsirkan sebagai Presiden sebagai Pemimpin Pemerintahan. Hal ini sesuai Pasal 3 PP No 17/2020 yang menegaskan posisi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS.