Senin 20 Sep 2021 00:31 WIB

Pakar: Jangan-Jangan Kisruh TWK KPK Bukan Soal Hukum

Ada semacam konklusi duluan di tubuh KPK bahwa ini sudah harus keluar.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar.
Foto: Ist
Direktur Eksekutif Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menduga, kisruh mengenai tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan lagi persoalan hukum. Sebab, menurutnya, KPK tidak bisa membaca secara utuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA) yang berkaitan dengan TWK KPK.

"Jangan-jangan ini beyond hukum, jangan-jangan itu, dan itu sebenarnya yang harus kita waspadai," ujar Zainal dalam diskusi publik daring bertajuk "Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi', Ahad (19/9).

Dia menjelaskan, putusan MK berada di wilayah norma yang memutuskan apakah aturan perundangan-undangan konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK tidak mempersoalkan fakta dari pelaksanaan ketentuan yang dinyatakan konstitusional itu oleh suatu pihak.

BACA JUGA: Babinsa Dipanggil Polres, Jenderal TNI Bersurat ke Kapolri

Zainal mengatakan, sederhananya MK memutuskan kegiatan atau kewenangan KPK dalam menyelenggarakan TWK adalah konstitusional. Namun, tidak berarti MK membenarkan mekanisme atau proses yang terjadi ketika KPK melaksanakan ketentuan konstitusional itu.

Dalam putusannya, MK juga menegaskan penyelenggaraan peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan pegawai KPK sebagai warga negara. Potensi adanya kerugian ini selama proses peralihan dapat ditinjau berbagai lembaga, seperti Komnas HAM dalam persepektif hak asasi manusia dan Ombudsman secara administrasinya.

"Kalau dalam melaksanakan kewenangan itu dilakukan secara keliru atau tidak benar itu temuan berbeda, itu yang dilakukan temuannya oleh Ombudsman dan Komnas HAM," kata Zainal.

BACA JUGA: Alasan Surati Kapolri, Jenderal Junior: Saya Tentara Rakyat

Menurut dia, komisioner KPK tidak membaca secara utuh dan hanya sampai pada persoalan konstitusionalitas. Seakan-akan komisioner KPK membenarkan tindakannya dalam melaksanakan peralihan status pegawai, meskipun temuan Komnas HAM dan Ombudsman menyatakan KPK melanggar hak asasi manusia dan maladministrasi sehingga terjadi kerugian bagi warga negara.

Pihaknya menduga, ini memang merupakan bagian dari bahasa-bahasa konklusi mendahului analisa. "Karena saya lihat sudah semacam ada konklusi duluan di tubuh KPK bahwa ini sudah harus keluar, orang-orang ini harus sudah keluar sehingga analisanya itu dicari-cari. Begitu keluar analisa dari MK, dipakai saja," tutur Zainal.

Dia meminta, presiden agar mengingat adanya Komnas HAM dan Ombudsman sebagai lembaga negara yang dipercaya mengawal penyelenggaraan pemerintahan sesuai Undang-Undang. Seperti halnya presiden mempercayai Komnas HAM dan Ombudsman di kasus lain.

BACA JUGA: Bareskrim: Napoleon Lumuri M Kece dengan Kotoran Manusia

Misalnya, temuan hasil investigasi Komnas HAM dalam kasus penembakan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Zainal menyebutkan, respons pejabat negara berbeda terhadap temuan soal FPI dan TWK KPK yang mengindikasikan adanya persoalan lain di luar hukum.

"Kok bisa soal FPI pemerintah khusyuk mendengarkan, saya ingat betul menteri-menteri bahkan melakukan dan mengucapkan hal yang sama. Tapi, khusus soal KPK ini mereka kok balik badan, termasuk KPK sendiri, BKN (Badan Kepegawaian Negara), dan lain-lain. Jangan-jangan ini bukan problem hukum. Jangan-jangan ada problem di luar itu yang kemudian orang tidak mau menyelesaikan secara konteks hukum," ucap Zainal.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement