Jumat 17 Sep 2021 19:43 WIB

Bencana Isu Presiden Tiga Periode

Wacana presiden tiga periode mencederai demokrasi dan menyakiti hati rakyat.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menimbulkan polemik.
Foto:

Oleh : Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menghambat Regenerasi

Dalam buku Organizational Communication karya Wayne Pace dan Don F. Faules (1994) menggambarkan bagaimana kekuasaan atau kewenangan para elite dalam kekuasaan formal begitu cair dan licin. Hal ini tentu saja bisa mengarah pada pembusukan demokrasi. Apabila kekuasaan itu berada pada genggaman elite politik tertentu dalam waktu yang lama sampai dengan 15 tahun, maka akan berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan.

Anak muda yang memiliki potensi besar untuk memimpin bangsa Indonesia bisa terlewatkan dan ini menjadi momentum buruk bagi situasi demokrasi akibat stagnansi pemimpin politik. Bisa dibayangkan dalam kurun waktu 45 tahun hanya ada tiga presiden. Padahal, penyiapan sumber daya politik menjadi salah satu hal yang krusial. Dalam teori politik, kaidah rekrutmen politik calon yang bertarung dalam kontestasi politik bukan semata-mata hitungan menang kalah secara elektoral. Dalam proses seperti itu ada pertimbangan keberlanjutan kepemimpinan politik.

Proses regenerasi tersebut akan rusak jika institusi-institusi demokrasi mengalami pembusukan politik. Studi Manor (2017) menyebut bahwa degenerasi politik di India disebabkan institusi demokrasi mengalami pembusukan. Pun sama dalam sejarah, ketika rezim yang berkuasa terlalu lama seperti masa Orde Baru—hampir 32 tahun berkuasa—bisa menghambat terjadinya regenerasi politik (Nurhasim, 2021).

Di Indonesia, tidak menutup kemungkinan jika usulan presiden tiga periode itu terealisasi, maka selama menjabat 15 tahun sikap dan perilaku elite politik dapat membangun budaya politik yang pragmatis, eksklusif dan orang-orang yang haus akan kekuasaan. Budaya politik yang tidak terdifusi dengan baik akan menghilangkan kepercayaan, menggerus nilai dan menjadi preseden buruk demokrasi.

Hambatan regenerasi ini juga tidak hanya berdampak pada tatanan pemerintahan, tetapi juga di level partai politik. Sirkulasi kepemimpinan partai politik akan menjadi problem yang sangat serius untuk masa depan partai politik.

Partai juga yang akan rugi karena hanya menjadi pelengkap, penggembira dan pensorak ria saja. Fungsi partai politik tidak akan mampu berjalan optimal dan kehilangan momentum untuk bisa menunjukkan kader terbaiknya dapat memimpin bangsa ini.

Teori Chester Bernard mengingatkan kepada kita semua untuk tidak bermain-main dengan kekuasaan. Sejarah telah memberi banyak pelajaran yang sangat berharga. Kekuasaan sejati adalah kemampuan yang akan selalu berdampingan dengan kebutuhan rakyat.

Barangsiapa yang mempermainkan kekuasaan, maka akan digilas oleh kekuasaannya sendiri. Hal yang harus diingat adalah tidak ada kekuasaan yang abadi. Kekuasaan yang nyata dan akan abadi adalah yang mampu diingat dan dikenang banyak orang akan jasanya yang mempertahruhkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement