Senin 13 Sep 2021 16:30 WIB

Djarot Klaim MPR tak Bahas Wacana Presiden Tiga Periode

Badan Pengkajian MPR tidak melakukan kajian terhadap pasal lain selain terkait PPHN.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan, Badan Pengkajian MPR saat ini tengah fokus melakukan kajian terhadap substansi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Djarot mengatakan, Badan Pengkajian MPR tidak melakukan kajian terhadap pasal lain selain terkait PPHN, termasuk wacana presiden tiga periode. 

"Selama pengkajian secara mendalam ini kita tidak pernah membahas yang lain-lain," kata Djarot dalam diskusi yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/9).

Djarot menyebut isu tersebut sengaja digoreng. Bahkan, menurutnya, isu tersebut semakin kencang setelah Ketua MPR, Bambang Soesatyo menyampaikan pidatonya di sidang tahunan 16 Agustus 2021 dan Peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2021 lalu. 

"Digoreng-goreng sampai gosong, direbus, digoreng, dibolak-balik, ya kan? Ada yang main akrobat begitu, merembet ke mana-mana sampai masa jabatan presiden tiga periode. Sekali lagi kita tidak pernah mengkaji secara mendalam tentang keberadaan pasal-pasal di luar itu (pasal 3 UUD 1945)," ujarnya. 

Politikus PDIP tersebut juga membantah PPHN tersebut dimunculkan secara tiba-tiba. Ia mengatakan, pembahasan soal haluan negara sudah dilakukan pembahasan secara mendalam sejak MPR periode 2009-2014

"Karena waktu itu masih belum dirumuskan ini, rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh MPR 2014-2019 yang juga masih belum berhasil. Ada konsensus disitu tentang bentuk hukum dan substansi. Sekarang kami di badan pengkajian melakukan kajian secara mendalam," tuturnya. 

Mantan wali kota Blitar itu menyebut bahwa Badan Pengkajian MPR sudah berdiskusi dengan pakar, akademisi, forum rektor, masyarakat, hingga tokoh masyarakat. Dirinya mengeklaim seluruhnya mengatakan bahwa keberadaan haluan negara mendesak.

"Kenapa? Haluan negara ini sebagai peta jalan road map mau menuju ke mana Indonesia ini 20 tahun ke depan, 50 tahun ke depan. Ketika sudah tidak ada lagi haluan negara, maka yang kita alami sekarang adanya ketidakselarasan antara visi misi gubernur, bupati, wali kota, presiden, tidak ada lagi keberlanjutan antara jabatan presiden sekarang dengan presiden berikutnya," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement