Jumat 17 Sep 2021 19:43 WIB

Bencana Isu Presiden Tiga Periode

Wacana presiden tiga periode mencederai demokrasi dan menyakiti hati rakyat.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menimbulkan polemik.
Foto: republika/mgrol100
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menimbulkan polemik.

Oleh : Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Wacana jabatan presiden tiga periode melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kembali mencuat ke permukaan publik. Gelagat gagasan para elite politik di tengah situasi pandemi Indonesia yang belum pulih dinilai sangat tidak etis, tidak punya kepedulian dan sense of crisis. Alih-alih elite politik dapat menunjukkan kinerja substantifnya dalam menangani pandemi, yang terjadi justru menjadikan kesempatan untuk bisa melanggengkan kekuasaan.

Bahkan, segala cara dilakukan, dengan menipu, memfitnah, politik adu domba, menyuap termasuk mengotak atik amandemen konstitusi negara. Padahal jelas dalam hasil Sidang Umum MPR, 14-21 Oktober 1999, perubahan atas Pasal 7 menyebutkan ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Meski Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengelak dan menyatakan telah case close terhadap wacana ini, tetapi ada pihak yang terus menerus menggemborkan isu perpanjangan jabatan presiden tiga periode menjadi bentuk manuver politik yang dapat memecah belah persatuan bangsa. Propaganda ini gencar dilakukan secara terstruktur dan massif serta berpotensi membuka pintu semakin terbajaknya demokrasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

Perilaku aktor politik inilah yang memandang kekuasaan itu sebagai sesuatu yang konkrit, ibarat benda atau barang yang dapat diwariskan kepada anak cucu dan memperkuat oligarki. Hal ini yang pada akhirnya menyebabkan tertutupnya celah bagi perbedaan, memunculkan pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi, macetnya regenerasi kepemimpinan, menumbuhsuburkan korupsi serta nepotisme (Noor, 2021).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement