Jumat 17 Sep 2021 13:10 WIB

TII: Pemecatan 51 Pegawai KPK Jadi Preseden Buruk

Yang diberhentikan merupakan penyelidik dan penyidik yang menangani perkara besar.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Mas Alamil Huda
Seorang pegawai KPK Yudi Purnomo berjalan keluar sambil membawa peralatan pribadi dari meja kerjanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). KPK memberhentikan 51 pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat alih status menjadi ASN per 30 September 2021.
Foto: ANTARA/Fakhri Hermansyah
Seorang pegawai KPK Yudi Purnomo berjalan keluar sambil membawa peralatan pribadi dari meja kerjanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). KPK memberhentikan 51 pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat alih status menjadi ASN per 30 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) menilai, pemecatan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi catatan buruk bagi pemberantasan rasuah ke depan. Terlebih pegawai yang diberhentikan merupakan penyelidik dan penyidik yang menangani perkara besar.

"Pemecatan sejumlah pegawai yang notabene adalah penyidik dan penyelidik senior yang sedang menangani kasus besar ini bisa menjadi preseden buruk bagi KPK dalam memberantas korupsi," kata Manajer Riset TII, Wawan Suyatmiko, di Jakarta, Jumat (17/9).

Dia khawatir ke depannya pimpinan KPK akan cenderung tebang pilih kasus. Apalagi, sambung dia, pimpinan KPK saat ini memiliki kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3).

Lebih jauh, dia menilai, pimpinan KPK terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan pemberhentian puluhan pegawai tersebut. Dia mengatakan, seharusnya masih ada kewenangan Presiden untuk memutuskan, sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia melanjutkan, pimpinan KPK juga mengabaikan temuan dan rekomendasi Ombudsman RI serta Komnas HAM. Kedua lembaga tersebut mendapati banyak kecacatan administrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status kepegawaian KPK.

Baca  juga : Polri: Berkas Muhammad Kece dan Yahya Waloni Segera Rampung

"Mestinya sebagai pimpinan sebuah lembaga negara harus menghormati rekomendasi lembaga negara lain yang berkompeten di bidangnya," katanya.

Seperti diketahui, KPK resmi memecat 51 pegawai yang tidak lolos TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

TWK memang menjadi salah satu instrumen alih status pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kendati, ditemukan banyak kecacatan administrasi dan pelanggaran HAM selama proses tes tersebut dilaksanakan.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu 'sukses' menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut.

Dalam perkembanganya, dari 75 pegawai TMS itu, sebanyak 24 dinyatakan masih dapat dibina kembali sedangkan 51 sisanya dipastikan tidak lolos dan tidak bisa dibina ulang, di dalamnya termasuk Novel Baswedan dan pegawai berintegritas lainnya.

"Kepada pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Rabu (15/9) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement