REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) dikabarkan mengalami pembengkakan biaya. Menanggapi itu, anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama, menilai proyek tersebut sudah bermasalah sejak awal.
"Sejak awal proyek Kereta Cepat ini diprediksi bermasalah, mulai dari berubahnya calon pelaksana proyek yaitu Jepang ke China merupakan suatu keputusan yang diambil secara tergesa-gesa," kata Suryadi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, dikutip Senin (13/9).
Selain itu, pembuatan amdal juga terkesan terburu-buru. Suryadi melihat Presiden Jokowi tampak ingin sekali menjadikan proyek Kereta Cepat ini sebagai mahakaryanya.
"Keterburu-buruan tersebut menyebabkan kurang baiknya perencanaan Kereta Cepat sehingga semua kejadian diatas memberikan andil terhadap membengkaknya biaya Kereta Cepat, karena akibat rencana yang tidak matang akhirnya banyak yang harus diperbaiki di sana sini," ujarnya.
Kemudian dirinya mengaku juga sudah memprediksi terjadinya pembengkakan biaya proyek tersebut. Sejak awal Fraksi PKS mengkhawatirkan adanya beban kepada keuangan negara.
Baca juga : Seluruh Penumpang Kereta Api Wajib Divaksinasi
Sebab menurutnya walaupun Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta–Bandung, dimana pada Pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.
Namun menurutnya, tetap saja Perpres tersebut tidak dapat menghapus ketentuan yang ada pada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang juga menjadi dasar terbitnya Perpres itu sendiri.
"Dimana pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 huruf (b) dinyatakan, meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat," jelasnya.
Dengan demikian, Suryadi menilai Pemerintah tidak bisa melarikan diri dari kewajibannya membantu keuangan BUMN yang berpotensi mengalami kerugian akibat penugasan untuk menjalankan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini. Hal itu terbukti dari diberikannya PMN kepada PT.KAI sebesar Rp4,1 T untuk keperluan proyek Kereta Cepat.
"Boleh dikatakan bahwa pemberian PMN ini melanggar Perpres No 107 Tahun 2015 tersebut, oleh sebab itu FPKS menolak pemberian PMN ini sebab disaat ini juga ada masalah lain yang harus diselesaikan yaitu pandemi Covid-19," tuturnya.
Selain itu, dia menambahkan beberapa masalah lain yang muncul akibat proyek tersebut antara lain meledaknya pipa Pertamina yang menyebabkan tewasnya salah satu pekerja, dan juga peristiwa banjir yang terjadi di beberapa titik di ruas tol Jakarta Cikampek. Menurutnya hal tersebut membuktikan kurang matangnya perencanaan dan kurang profesionalnya pengerjaan proyek Kereta Cepat ini.
"Dengan begitu banyaknya kekhawatiran yang menjadi kenyataan, untuk kedepannya kita harus mewaspadai jangan sampai pengoperasian Kereta Cepat ini mengganggu bisnis PT KAI sendiri. Dimana kita tahu bahwa dengan membengkaknya biaya proyek ini hingga sekitar Rp 100 T lebih, maka operator Kereta Cepat harus berusaha keras untuk melunasi hutang-hutangnya," terangnya.
Baca juga : Tren Penurunan Kasus Covid Jadi Angin Segar BUMN Properti
"Dengan biaya sebelum pembengkakan saja diperkirakan operator harus membayarkan cicilan sekitar Rp1,45 triliun per tahun, apalagi sekarang dengan adanya pembengkakan sebesar 30 persen kemungkinan bisa mencapai Rp2 T per tahun. Sehingga tentunya operator Kereta Cepat mengharapkan bisa mendapatkan penumpang yang banyak, jangan sampai untuk mendapatkan penumpang yang banyak tersebut menggunakan cara-cara yang dapat mengganggu bisnis PT KAI," imbuh Suryadi.