REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Rizkyan Adiyudha, Antara
Kehidupan narapidana di dalam jeruji besi tidak mudah. Apalagi jika narapidana tersebut bukan seorang politikus, atau mantan koruptor dengan uang banyak. Hidup di kamar yang sempit dan pengap menjadi kehidupan sehari-hari.
Adalah MI, pria berusia 29 tahun asal Tangerang, Banten, bercerita mengenai pengalamannya menjalani masa tahanannya di sebuah lapas di Kota Tangerang karena terjerat kasus narkotika. Dia bebas pada beberapa tahun yang lalu setelah menjalani masa tahanan selama sekitar satu tahun.
MI mengaku mengalami sejumlah pengalaman yang menurutnya pahit saat berada di dalam lapas. Namun, dia menyebut pengalaman itu juga bisa menjadi pelajaran atau evaluasi buat dunia kelapasan yang selama ini menurutnya telah berjalan secara sistemik.
Masalah yang disoroti oleh pria yang kini bekerja sebagai karyawan swasta itu terkait dengan masalah kelebihan kapasitas atau over capacity yang terjadi di lapas yang dihuninya. Masalah itu, menurut klaimnya juga terjadi di banyak lapas yang ada di Indonesia.
"Over capacity itu memang rata-rata memang terjadi di lapas, termasuk di lapas yang pernah saya tinggali di salah satu tempat tahanan di Kota Tangerang," tutur MI saat ditemui Republika di Kota Tangerang, Kamis (9/9).
Dia berujar, kelebihan kapasitas terjadi di kamar sebuah blok huniannya. Kamar yang seharusnya berkapasitas empat orang malah dihuni oleh delapan hingga 10 orang.
"Idealnya empat orang, kenyataannya bisa sampai dua kali lipat lebih. Diakalinnya pakai tripleks, dibikin tingkat, tapi pasti tetap jadi tambah sempit kan," kata dia.
Menurut penuturannya, kondisi kamar yang dihuninya berisi kasur dengan sekat-sekat antar tahanan, juga sejumlah peralatan atau perlengkapan yang digunakan oleh tahanan. Kamar tersebut berupa tembok di sisi kanan, kiri, serta atas, sementara bagian depan berupa jeruji besi.
"Atasnya juga tembok, kalau plafonnya jauh. Di atas tembok itu ada besi lalu atasnya baru plafon, tinggi itu, makanya kalau mau kabur susah," ceritanya sambil terkekeh.
Dia melanjutkan, selain di kamar, ada juga tahanan yang menempati aula atau disebutnya sebagai lokasi penampungan yang menurutnya kondisinya lebih parah. Mereka yang menghuni aula merupakan para tahanan yang tidak mendapatkan fasilitas kamar untuk ditinggali, sehingga harus hidup bersama-sama dalam satu ruangan dengan banyak orang.
"Kebanyakan di penampungan ya. Jadi kan ada dua nih, ada kamar dan ada penampungan. Di penampungan itu isinya bisa sampai 80 orang, harusnya kapasitasnya 40. Mereka tidur berbaris gitu, kayak barisan ikan asin lah. Mereka nggak bisa dapat kamar karena mungkin biaya kamar mahal, mereka nggak punya duit kali," tuturnya.
Kondisi kelebihan kapasitas tersebut, kata MI sangat mudah menimbulkan gesekan sosial antar tahanan. Pasalnya, semakin banyak 'kepala' semakin banyak juga karakter di dalam ekosistem. Jika ada ketidakcocokan, akan muncul masalah sosial sehingga menimbulkan tindakan kekerasan.
"Iya gampang banget muncul gesekan karena banyak otak dan kepala dengan masalah yang beda. Di satu kamar bisa ada orang-orang dengan latar belakang kasus yang berbeda, mulai dari narkoba, terorisme, hingga tindak pidana. Lalu, misal bercanda tapi ada yang nggak terima. Juga persoalan gengsi atau cemburu sosial, misal mau tidur di titik tertentu, tapi ada yang nggak terima. Kalau misal rata, kapasitas empat orang diisi empat orang kan sudah kebagian porsinya masing-masing, tapi kalau diisi delapan sampai 10 muncul gesekan, tidur juga nggak nyaman," bebernya.
Tak ayal terjadi tindakan kekerasan akibat kondisi tersebut, terlebih jika ada geng-geng di dalam blok atau kamar-kamar tertentu. Hal itu tidak menutup kemungkinan munculnya kerusuhan di dalam lapas.
Kondisi kerusuhan di lapas, menurutnya bukan pemandangan yang awam bagi para tahanan. Masalah tersebut kerap terjadi karena berbagai hal selain karena masalah sosial yang muncul akibat kelebihan kapasitas, juga karena masalah ekonomi berupa hutang piutang.
Hal itu dialami oleh pria berinisial A yang juga merupakan mantan napi di salah satu lapas di Kota Tangerang. Berdasarkan pengalamannya, sering muncul perseteruan antar tahanan di dalam lapas yang membuat kondisi lapas makin terasa sumpek dan amburadul.
"Banyak (ketegangan yang terjadi). Pernah mengalami banyak macam hal yang jadi konflik perang. Kadang masalah utang, entah utang transaksi A, B, atau C dalam lapas," tuturnya.
Menurutnya, meski berada di dalam tahanan, para narapidana juga memutar otak untuk dapat berpenghasilan. Selain mengikuti sejumlah kegiatan di lapas, seperti pembinaan, olahraga, serta aktivitas pribadi, para tahanan juga berpikir cara untuk mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun kebutuhan keluarga di luar lapas.
A mengaku salah satu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan pendapatan adalah dengan menjalankan sejumlah bisnis yang dalam melakukannya melanggar aturan kelapasan, salah satunya dengan memanfaatkan telepon genggam di dalam lapas. Dia berujar, banyak transaksi yang terjadi di lapas melalui penggunaan ponsel.
Masalah sosial dan ekonomi yang muncul di dalam dunia para tahanan di lapas, seiring dengan kondisi over capacity, menurutnya, sangat perlu diperhatikan oleh pihak-pihak terkait. Pasalnya, masalah itu sudah menjadi sistemik di dunia lapas. Saat ini dia mengaku mengambil banyak pelajaran dari pengalaman hidup di lapas, namun dia menyebut masalah itu seharusnya jadi konsentrasi juga bagi pihak yang bertanggung jawab menangani masalah lembaga.
Masalah over kapasitas juga terjadi Lapas Tangerang yang kemarin kebakaran. Bahkan kelebihan kapasitasnya mencapai 400 persen. Ketika kebakaran Lapas Tangerang dihuni oleh 2.069 tahanan.