Ahad 29 Aug 2021 17:16 WIB

Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilu tak Lagi Relevan

MK sebaiknya tetap menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, berpendapat Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya tetap menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada dan Bawaslu menjadi menjadi sistem pendukung untuk menegakan hukum kepemiluan. (Foto: Sidang Mahkamah Konstitusi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, berpendapat Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya tetap menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada dan Bawaslu menjadi menjadi sistem pendukung untuk menegakan hukum kepemiluan. (Foto: Sidang Mahkamah Konstitusi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, memandang pembentukan peradilan khusus pemilu sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak lagi relevan. Sebab dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah  mengeluarkan putusan 55 Tahun 2019 tentang pengujian keserentakan pemilu dan pilkada.

"Setelah mahkamah mengeluarkan putusan ini kami pikir tidak relevan lagi ketika harus membentuk satu peradilan khusus pilkada, alasan mahkamah waktu itu melepaskan karena rezimnya berbeda, pilkada tidak masuk ke rezim pemilu jadi mahkamah tidak berwenang  untuk menyelesaikan sengketa hasil pada saat itu," kata Violla dalam diskusi yang digelar daring, Ahad (29/8).

Baca Juga

Violla menjelaskan, dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK memberikan pandangan yang berbeda dengan pandangannya pada 2013 lalu. Berdasarkan penelusuran yang lebih mendalam berbasis original intent, banyak varian keserentakan penyelenggaraan  pemilu. 

"Redefinisi yang dilakukan mahkamah ini bisa jadi satu acuan, jadi satu batu lompatan kita untuk kemudian menilik kembali relevansi badan peradilan khusus," ujarnya.

Selain itu, ia khawatir adanya badan peradilan khusus membuat sistem penegakan hukum akan semakin terpencar-pencar sehingga menyebabkan terlalu banyak lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan penegakan hukum kepemiluan. Ia juga khawatir hal tersebut akan memunculkan disparitas antar lembaga penegakan hukum.

"Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab peradilan khusus ini akan ditempatkan dimana? MA memiliki badan peradilan di bawahnya, apakah kemudian penyelesaian sengketa ini akan terpusat di MA atau terpencar-pencar secara regional ketika membuat satu kamar peradilan khusus?" katanya.

Violla menambahkan, apalagi waktu pembentukan badan peradilan tersebut sangat singkat mengingat 2024 tinggal tiga tahun lagi. Karena itu, ia mengkhawatir pembahasan pembentukan badan peradilan tidak komprehensif dan tidak optimal. 

"Kendati membangun suatu sistem yang firm, kita malah membangun, membentuk suatu lembaga tapi setengah-setengah tidak suportif terhadap electoral justice system," ucapnya.

Ketimbang membentuk lembaga baru, KoDe Inisiatif memandang lebih baik mengevaluasi dan memperkuat lembaga yang ada. Violla menilai MK tetap menjadi lembaga yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada dan Bawaslu menjadi menjadi sistem pendukung untuk menegakan hukum kepemiluan. 

"Jadi peradilan khusus bisa diinternalisasi ke Bawaslu. Kedepan Bawaslu bisa dilekatkan model kuasi peradilan seperti itu, dalam menyelesaikan sengketa proses atau sengketa administrasi karena dalam perkembangannya di UU 7 2017 sudah mengarah ke sana maka yang perlu dilakukan evaluasi secara holsitik tentang penegakan hukum pemilu," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement