REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan kekerdikan (stunting) masih menjadi permasalahan mendasar dalam pembangunan manusia Indonesia. Berdasarkan data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 27,7 persen.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, berapa hal penyebab tingginya angka stunting di daerah yang dilakukan kunjungan yakni masalah kurangnya asupan gizi kronis pada anak, rendahnya cakupan akses air dan sanitasi penduduk, rendahnya pendidikan orang tua, pola asuh yang salah, dan kurangnya tenaga kesehatan terutama ahli gizi dalam pemantauan perkembangan balita.
"Ini (stunting) harus diatasi dan diselesaikan," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (23/8).
Lebih lanjut, menurut dia, pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini akan memberikan pengaruh besar kepada peningkatan stunting pada kelompok miskin yang akan berdampak kepada menurunnya daya beli terhadap pangan bergizi.
Menko PMK memaparkan, pandemi Covid-19 telah memunculkan banyak keluarga miskin baru. Misalnya saja di perkotaan, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di perkotaan telah naik sebanyak 138,1 ribu orang, dari 12,04 juta orang pada September 2020 menjadi 12,18 juta orang pada Maret 2021.
Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, yang diselenggarakan secara daring oleh Setwapres, pada Senin (23/8). Hadir dalam rapat tersebut para Gubernur yang berasal dari 34 Provinsi, Bupati/walikota dari 154 kabupaten/kota yang menjadi lokasi prioritas baru untuk tahun 2022 serta para pemangku kepentingan lainnya.
Muhadjir mengatakan, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan target penurunan stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Karena itu, dia melanjutkan, butuh kerja keras bersama semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dukungan organisasi kemasyarakatan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan kunci penyebab stunting.
"Percepatan penurunan stunting perlu terus diperbaiki melalui berbagai evaluasi dan disesuaikan dengan kultur, sumber pangan lokal, upaya-upaya berkelanjutan sehingga menjadi budaya perbaikan gizi bagi penerus bangsa," ujarnya.
Dia menerangkan, saat ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, dan menunjuk Kepala BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia. Menko Muhadjir ditunjuk sebagai wakil ketua pengarah di bawah Wapres KH Ma'ruf Amien sebagai ketua pengarah.
Dalam Perpres tersebut ditekankan bahwa komitmen Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa adalah kunci keberhasilan dalam percepatan penurunan stunting. Kolaborasi dan koordinasi di pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa sangat diperlukan. Ditekankan juga dalam penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting di Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota sampai tingkat Desa harus dibentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting yang diketuai oleh Pimpinan Daerah masing-masing dan intervensi yang dilakukan oleh K/L, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dilakukan secara konvergen dan terintegrasi.
Termasuk pendampingan pranikah, seribu hari pertama kehidupan sejak di kandungan, hingga melahirkan generasi yang sehat dalam tumbuh kembang. Muhadjir berharap, dengan Perpres 72 yang baru tersebut, tiap daerah bisa menurunkan prevalensi stuntingnya sesuai target yang dicanangkan Presiden.
"Saya berharap kepada semua Kementerian/Lembaga, Gubernur, Bupati/walikota, serta seluruh pemangku kepentingan harus saling bersinergi dalam pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan untuk percepatan penurunan stunting," ujarnya.
Pihaknya menyadari semua tantangan yang kita hadapi tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin untuk kita selesaikan. Ia berharap semoga dengan petunjuk pertolongan dari Allah SWT apa yang kita harapkan bisa pemerintah laksanakan dengan baik.