REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia, mengecam keras serangan brutal yang kembali dilakukan oleh militer Israel terhadap warga sipil Palestina yang sedang menunggu bantuan kemanusiaan di Gaza, pada Ahad (20/7/2025). Serangan ini dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan.
"Ini bukan lagi perang, ini adalah pembantaian terencana terhadap warga sipil yang kelaparan. Menembaki orang yang mengantre makanan adalah kejahatan perang yang tak terbantahkan. Dunia tidak bisa lagi hanya menonton," kata politikus dari Fraksi PAN tersebut, dalam siaran persnya.
Sedikitnya 67 warga Palestina tewas saat menunggu konvoi 25 truk bantuan dari Program Pangan Dunia (WFP) PBB di Gaza utara. Pihak WFP mengonfirmasi bahwa konvoi mereka menemui kerumunan besar warga sipil yang kelaparan yang kemudian berada di bawah tembakan sesaat setelah melewati pos pemeriksaan.
Tragedi ini bukanlah insiden yang terisolasi. Menurut data dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), sejak model penyaluran bantuan baru yang dikelola Israel-AS (GHF) diterapkan, sebanyak 875 orang telah tewas saat mencoba mendapatkan makanan.
"Israel terbukti secara sistematis menciptakan zona kematian. Mereka tidak hanya memblokade bantuan PBB, tetapi secara aktif mengubah proses penyaluran bantuan menjadi ladang pembantaian. Ini adalah penggunaan kelaparan sebagai senjata perang secara terang-terangan, sebuah pelanggaran hukum humaniter internasional paling fundamental," kata Farah.
Lebih lanjut, Farah menilai bahwa Israel secara terang-terangan dan berulang kali telah melanggar berbagai hukum internasional. Ia menegaskan kembali temuan para ahli independen PBB bahwa tindakan Israel di Gaza telah mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pemindahan paksa, penyiksaan, hingga tindakan yang mengarah pada genosida.
"Impunitas yang dinikmati Israel selama ini adalah bahan bakar bagi kekejaman yang terus berlanjut. Siklus kekerasan ini hanya bisa dihentikan dengan akuntabilitas dan keadilan internasional yang tegas," tambahnya.
Serangkaian kekejaman ini terbukti telah menggeser pandangan negara-negara Barat. Pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh 28 negara, termasuk kekuatan kunci seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Kanada, serta pidato Raja Belgia yang secara eksplisit mengecam pelanggaran HAM di Gaza, menandakan perubahan penting dalam lanskap politik global.
"Ini adalah jendela peluang diplomasi yang sangat signifikan bagi Indonesia. Dukungan solid terhadap Israel mulai retak. Suara-suara yang selama ini lantang disuarakan oleh Indonesia kini mendapat gema dari negara-negara Barat. Kita tidak lagi sendiri, dan ini adalah momentum yang tidak boleh disia-siakan,” kata Farah.
Oleh karena itu, Farah mendesak agar Pemerintah Indonesia memanfaatkan posisinya di Dewan HAM PBB dan memimpin pembentukan koalisi internasional yang luas. Koalisi ini harus merangkul negara-negara Barat untuk menekan Israel secara efektif melalui sanksi yang ditargetkan, pembentukan pengadilan khusus kejahatan perang, dan pembukaan koridor kemanusiaan penuh di bawah pengawasan PBB.
"Saatnya Indonesia memimpin, bukan hanya mengikuti. Manfaatkan momentum ini untuk mengorkestrasi tekanan global yang nyata demi menghentikan tragedi kemanusiaan di Gaza," ungkap Farah.