REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) kembali menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke praperadilan. Praperadilan kali ini, terkait keputusan KPK, yang menghentikan supervisi, dan penyelidikan lanjutan peran ‘King Maker’, dalam perkara penerimaan suap, dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari, dari terpidana Djoko Sugiarto Tjandra.
Kordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, praperadilan akan resmi diajukan pihaknya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (23/8). “MAKI akan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK, atas dihentikannya supervisi, dan penyidikan untuk mencari dan menemukan siapa, dan apa peran ‘King Maker’ dalam perkara tindak pidana korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) oleh Pinangki, dan lain-lain, untuk membebaskan Djoko Tjandra,” ujar Boyamin, dalam keterangan tertulis MAKI, yang diterima wartawan di Jakarta, Senin (23/8).
Boyamin menerangkan, ada tujuh dasar mengapa praperadilan terhadap KPK kali ini perlu diajukan. Kata dia, merunut alasan, MAKI sejak 11 September 2020, telah mengirimkan materi kasus tindak pidana korupsi terkait pengurusan fatwa bebas dari MA untuk Djoko Tjandra, yang saat ini selaku terpidana korupsi Bank Bali 1999.
Dalam materi kasus tersebut, kata Boyamin, MAKI membeberkan kronologis kasus yang melibatkan Pinangki, Djoko Tjandra, dan pengacaranya Anita Kolopaking, pun politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya. “Materi perkara tindak pidana korupsi tersebut, diserahkan sebagai bahan supervisi KPK untuk penyelidikan, dan penyidikan kasus tersebut,” terang Boyamin.
Pada saat ini, semua nama yang disebutkan dalam kronologis kasus, sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung), kecuali Anita Kolopaking. Penyampaian materi kasus kepada KPK tersebut, berlanjut pada 18 September 2020.
Kata Boyamin, pada tanggal tersebut, KPK mengundang MAKI untuk meminta penjelasan langsung tentang materi kasus yang disampaikan sebelumnya. “KPK meminta penjelasan untuk memperdalam peran ‘King Maker’ dalam perkara tersebut. Dan MAKI, menyerahkan 140 halaman bukti percakapan antara Anita Kolopaking, dan jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pengurusan fatwa bebas dari MA untuk Djoko Tjandra tersebut,” ujar Boyamin. Dalam bukti-bukti yang diserahkan ke KPK tersebut, kata Boyamin, MAKI juga menjelaskan tentang ‘King Maker’ tersebut.
Pada 2 Oktober 2020, MAKI mendapatkan surat dari KPK, tentang tanggapan atas penyampaian materi kasus tersebut. Dan KPK menjadikan penyampaian MAKI, dan bukti-bukti dari MAKI, sebagai bahan informasi bidang penindakan di KPK.
Selanjutnya, KPK memutuskan untuk melakukan supervisi, dan kordinasi terhadap kasus yang saat itu sedang dalam penuntasan berkas perkara di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejakgung untuk disidangkan ke Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta.
Dalam perjalanan kasus tersebut, PN Tipikor Jakarta, merampungkan kasus tersebut, dengan memvonis Pinangki bersalah menerima uang 500 ribu dolar atau setara Rp 7,5 miliar, dari janji 1 juta dolar, pemberian Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa bebas dari MA. Hakim menghukum Pinangki 10 tahun penjara.
Sedangkan Djoko Tjandra, diganjar 4 tahun 6 bulan penjara. Dan perantara pemberian uang, yakni Andi Irfan, dipenjara 6 tahun penjara. Akan tetapi, dalam amar putusan majelis hakim PN Tipikor, perkara tersebut tak tuntas.