Senin 16 Aug 2021 21:02 WIB

Nasdem Menilai Amandemen Terbatas UUD 1945 Bisa Melebar

Rencana amandemen UUD 1945 diketahui setelah Bamsoet bertemu dengan Jokowi.

MPR RI selaku lembaga yang berkewenangan mengamandemen UUD 1945 (ilustrasi)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
MPR RI selaku lembaga yang berkewenangan mengamandemen UUD 1945 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPP Partai Nasdem menyatakan, amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 berpotensi membuka kotak pandora yang lain. Alasannya, UUD 1945 merupakan dasar sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Pastinya pasal-pasal saling keterkaitan, dan UUD NKRI Tahun 1945 tidak mengenal perubahan terbatas, kecuali dibatasi oleh kebijakan politik perumus UUD sebagai komitmen kebangsaan," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Hubungan Legislatif Partai Nasdem Atang Irawan dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (16/8).

Baca Juga

Wacana amendemen terbatas UUD kembali menghangat ketika Ketua MPR Bambang Soesatyo bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada saat bertemu Jokowi, Bamsoet mengaku menyodorkan perihal mekanisme pembahasan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, dan yang kedua pembahasannya akan hal itu dikatakan tidak akan melebar.

Atang memandang perlu melihat mekanisme perubahan UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 37 itu menggunakan pola usul perubahan pasal-pasal. Berbeda dengan sebelumnya bisa mengubah seluruh dokumen konstitusi, misalnya UUD NRI Tahun 1945 diubah oleh konstitusi RIS, kemudian UUD Sementara, lantas kembali ke UUD 1945.

"Artinya, memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya. Tidak hanya satu pasal," kata Atang.

MPR ingin ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serupa dengan GBHN sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sementara itu, penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.

Atang yang merupakan ahli hukum tata negara, mempertanyakan, ketika Pasal 3 disetujui dan diketok, lalu PPHN itu untuk siapa? Apakah untuk Presiden atau untuk semua lembaga negara.

"Pertanyaan itu mungkin juga akan membuka pasal lain, atau yang kedua bagaimana pelaporannya? Kepada siapa pelaporannya? Kepada MPR? Jika kepada MPR, apakah memakai skema Tatib MPR di sidang 16 Agustus. Di sidang tahunan dengan melaporkan pertanggungjawaban kinerja," kata Atang.

Atang mempertanyakan, jika kinerja Presiden dan lembaga negara tidak sesuai dengan PPHN, terus bagaimana? Kalau biasa saja, kata dia, Pasal 3 itu tidak ada maknanya secara konstitusional karena tidak bisa diikatkan dengan Presiden dan lembaga negara lainnya. Berikutnya, ketika Pasal 3 itu disahkan, berarti MPR mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah PPHN. Maka, pertanyaan berikutnya berarti semua lembaga negara harus melaksanakannya.

"Kalau tidak melaksanakan bagaimana?" tanya Atang lagi.

Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan. Dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 mengatur syarat pemakzulan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement