REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Supranawa Yusuf menjabarkan, empat keberatan terhadap laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai malaadministrasi dalam pelaksanakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
TWK digunakan sebagai proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Supranawa pun merasa keberatan dengan rekomendasi Ombudsman.
"Melalui pintu inilah kami, BKN, menggunakan hal untuk menyampaikan keberatan dalam kesimpulan yang menyatakan terjadi malaadministrasi penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam alih status pegawai KPK menjadi ASN," kata Supranawa dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat (13/8).
Pada 21 Juli 2021 lalu, Ombudsman RI berkesimpulan, BKN telah melakukan malaadministrasi, berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam empat hal. Pertama, kepala BKN menghadiri langsung rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 26 Januari 2021.
Kedua, BKN tidak kompeten melakukan asesmen TWK. Ketiga, malaadministrasi dalam kontrak swakelola antara KPK dan BKN. Keempat, kepala BKN telah melakukan pengabaian terhadap amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pertama, pelaksanaan rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021 yang dihadiri oleh pimpinan kementerian dan lembaga, yang seharusnya dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham. Nah atas pernyataan tersebut BKN menyatakan keberatan," kata Supranawa.
Dia mendasarkan,Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi, yang menyatakan badan dan atau pejabat pemerintah yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri delegasi tersebut. Dalam ketentuan itu, menurut dia, tidak ada yang menyatakan harus pejabat tertentu yang hadir dalam rapat harmonisasi.
"Tidak ada, maka kami simpulkan tidak ada pembatasan peserta rapat harmonisasi, sepanjang pimpinan instansi memberikan kewenangan untuk hadir dalam rapat itu hak dari pimpinan instansi, sehingga apa yang dilakukan kepala BKN dalam rapat harmonisasi sama sekali tidak menyalahi kewenangan dan prosedur," kata Supranawa.
Keberatan kedua adalah mengenai BKN tidak kompeten melaksanakan asesmen TWK sehingga menggunakan asesor dari Dinas Psikologi TNI AD, Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Pusintel AD, BNPT dan BIN. Menurut Supranawa, di Indonesia tidak ada instansi pemerintah yang punya kewenangan membina kompetensi.
"Dan bila BKN tidak dapat melakukan sendiri asesmen karena kurang tenaga atau fasilitas, berdasarkan Peraturan BKN Nomor 26 Tahun 2019, BKN dapat melibatkan asesor jenjang madya dan utama dari instansi pemerintah lain, serta asesor independen yang sesuai dengan kriteria," kata Supranawa menjelaskan.
Dia melanjutkan, penunjukan asesor dari lembaga lain, sudah sesuai dengan aturan. "Ketiga, pernyataan terkait nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN. Tidak digunakannya nota kesepahaman dan kontrak swakelola tersebut karena anggarannya tidak jadi anggaran KPK, maka itu adalah hal yang lazim, bisa dicek apakah ada proses penagihan nota," ujar Supranawa.
Menurut Supranawa, dengan tidak digunakannya nota dan kontrak swakelola, BKN menyatakan, tidak ada pengaruh terhadap hasil TWK karena penilaian kompetensi ASN memang sesuai mandat BKN.
"Keempat, mengenai kepala BKN mengabaikan amanat Presiden 17 Mei 2021, kami keberatan dengan dasar bahwa arahan Presiden sudah ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi rapat tindak lanjut di BKN pada 25 Mei 2021," ucap Supranawa.