Kamis 05 Aug 2021 13:43 WIB

Wabah dalam Sastra Indonesia

'Tjerita Nyai Paina' berkisah penyakit cacar di Desa Poerwo

Ronggeng Dukuh Paruk(2003) karya Ahmad Tohari merupakan salah satu karya sastra yang berlatar wabah penyakit.
Foto:

Beberapa orang termasuk Sakarya, kamitua, pemimpin di Dukuh Paruk menganggap racun berasal dari bokor tembaga untuk mengolah tempe. Dalam bokor, terdapat lapisan membiru, warna asam tembaga. Di kemudian hari, berdasarkan pengetahuan Rasus, teman Srintil yang menjadi pencerita novel ini, penyebab munculnya racun dalam tempe itu bukan asam tembaga, tetapi adanya bakteri jenis pseudomonas cocovenenas yang  tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteri itu menghasilkan racun yang kuat yang menjadi cikal bakal kematian orang memakannya.

Selain dalam novel, terdapat cerita pendek yang mengambil latar wabah. Wabah cacar yang terjadi di Hindia Belanda digambarkan cerpen ”Variola” karya Iksaka Banu. Cerpen  terdapat dalam kumpulan ''Teh dan Pengkhianat'' (2019) yang mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk prosa pada 2019. 

Cerpen ini berkisah upaya pemerintah pusat di Weltervreden (Jakarta Pusat) melalui jawatan kesehatan (Geneeskundige Dienst) dalam mencegah variola, nama Latin untuk cacar. Penyakit ini ditandai gelembung kecil bernanah di sekujur tubuh yang disertai demam tinggi. Tugas itu dibebankan kepada officier van gezondheid, petugas kesehatan Adriaan Geest yang berhasil menangani kolera di Aceh.

Karena wabah terjadi di pedalaman dan vaksin dikuatirkan kadaluarsa, maka menggunakan tubuh anak-anak sebagai pembawa vaksin aktif. Agar vaksin tetap segar sampai tujuan dilakukan inokulasi, yaitu bibit cacar yang sudah dilemahkan dimasukkan ke dalam tangan anak-anak yang digoreskan agar masuk menjadi nanah darah. Bibit itu kemudian dikeluarkan dan dipakai untuk banyak orang. Dengan demikian, tercipta kekebalan penyakit di masyarakat sehingga wabah akan berhenti. 

Variola masuk ke Hindia Belanda abad XIV mulai Ternate dan Ambon. Kemudian, akhir 1871, wabah itu sampai ke Bali dan menewaskan delapan belas ribu orang. Pemerintah kolonial berusaha mencegah penyebaran wabah itu agar tidak sampai ke Batavia karena dampaknya pada kelumpuhan ekonomi yang lebih luas. Untuk itu, selain vaksinasi  dilakukan berbagi upaya seperti karantina dan pemblokiran jalan ke daerah wabah oleh militer. Untuk jangka lebih panjang didirikan sekolah dokter Jawa bagi pribumi, Stovia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement