Kamis 05 Aug 2021 13:43 WIB

Wabah dalam Sastra Indonesia

'Tjerita Nyai Paina' berkisah penyakit cacar di Desa Poerwo

Ronggeng Dukuh Paruk(2003) karya Ahmad Tohari merupakan salah satu karya sastra yang berlatar wabah penyakit.
Foto:

Selain Pramoedya, pengarang lainya menulis kembali cerita tersebut, yaitu Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (Toeti Heraty, 2000), Galau Putri Calon Arang (Femmy Syahrani, 2005) dan Janda dari Jirah (Cok Sawitri, 2007). Selain dibuat novel, juga  difilmkan dan diangkat ke teater serta proyek pemotretan (Rio Wibodo, 2016).

Bencana dalam cerita itu dibuat Calon Arang, janda penganut Dewi Durga, dewi kerusakan. Ia lakukan untuk melawan terhadap masyarakat dan penguasa. Karena janda dan pendeta perempuan, tak ada mau menikahi anaknya, Ratna Manggali. Dalam masyarakat, posisi janda masih dianggap aib sehingga harus dibatasi ruang geraknya. Untuk mengatasi wabah, Raja Erlangga mengirim pasukan terbaiknya. Namun, pasukannya banyak yang terbunuh, sisanya melarikan diri ke ibukota. 

Akhirnya, Raja Erlangga mengikuti saran Empu Barada, mengutus muridnya, Empu Bahula untuk menikahi Ratna Manggali. Melalui anaknya, Empu Bahula mendapatkan rahasia kesaktian Calon Arang. Dalam cerita ini, Ratna Menggali mengalami berkali-kali ketakberdayaan. Saat gadis, ia diperbincangkan karena tak ada yang mau mengawininya, setelah menikah harus membantu musuh ibunya. Setelah kitab itu berada di tangan Empu Baradah, Calon Arang berhasil dibunuh dan wabah hilang di Negara Daha.  

Wabah lain terdapat dalam Ronggeng Dukuh Paruk(2003) karya Ahmad Tohari. Masyarakat dukuh itu percaya apabila ada segumpal cahaya dari langit pecah diperdukuhan adalah petanda ada bencana datang tanpa bisa dilawan dengan tolak bala. Cahaya itu datang bersamaan dengan suara burung-burung hantu dari beringin rimbun yang ada di makam lelehur mereka, Ki Secamenggala. 

Bencana yang  terjadi berupa racun tempe bongkrek, makanan yang dibuat dan dijual Santayib, ayah  Srintil, yang setelah dewasa menjadi ronggeng. Akibat racun itu, sembilan orang dewasa, termasuk suami-istri Santayib serta sebelas anak-anak meninggal. Jumlah itu merupakan lebih dari separuh anak di perdukuhan itu. 

Orang Dukuh Paruk memiliki cara sederhana  menolong yang keracunan. Mereka biasa memberi air kelapa bercampur garam atau air yang bercampur abu dapur. Pencahar itu lumayan mujarab apabila orang keracunan bisa muntah. Namun, penggunaan pencahar yang tak terkendali menyebabkan orang keracunan  terlalu banyak muntah sehingga banyak  yang mati bukan karena tempe bongkrek tapi pencahar itu. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement