Kamis 05 Aug 2021 13:43 WIB

Wabah dalam Sastra Indonesia

'Tjerita Nyai Paina' berkisah penyakit cacar di Desa Poerwo

Ronggeng Dukuh Paruk(2003) karya Ahmad Tohari merupakan salah satu karya sastra yang berlatar wabah penyakit.
Foto:

Cerita ini dianggap sangat maju saat itu dan dianggap dapat mempengaruhi kaum pribumi untuk memberontak kepada pemerintah kolonial. Karena itu “Njerita Nyi Paina” ini patut mendapat perhatian untuk kajian yang lebih luas dalam bidang lain seperti bidang sosial dan politik. 

Pada masa Balai Pustaka, terdapat novel Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928) yang menggambarkan penyakit kolera di Semarang pada masa kolonial. Corrie de Busse, perempuan indo Perancis yang  bekerja di rumah yatim piatu, terkena penyakit itu sehingga dirawat di Rumah Sakit Paderi. Nyawanya tidak tertolong meski sempat bertemu Hanafi yang sengaja datang dari Betawi. Untuk bertemu istrinya, Hanafi menjalani prosedur ketat karena ditakutkan tertular penyakit itu. Saat akan pulang dari rumah sakit, pakaian dan tubuhnya dibersihkan dari segala hama penyakit.

Hanafi sendiri saat di Solok, Minangkabau, terkena gigitan anjing gila sehingga dokter menyarankan harus segera dirawat di Betawi. Tangannya tergigit sehingga mengeluarkan darah. Ia adalah korban ketiga di kampungnya. Karena itu, orang-orang kampung memburu anjing gila itu dengan membawa  pemukul, alu, pedang, dan lain-lain.

Pada masa lalu, di Jawa Timur, pada masa  Raja Erlangga di kerajaan Daha (Kediri)erjadi wabah berupa penyakit panas-dingin. Tidak ada obat  dan tabib yang dapat menyembuhkan penyakit itu sehingga orang-orang sakit tak punya harapan untuk sembuh.Tiap hari, beratus-ratus orang mati dan dibawa ke kuburan. Kalau yang menguburkan pulang, ia pun sakit pula, kemudian mati. Begitulah terus menerus bencana yang terjadi di negeri Daha.

Kisah itu ditulis ulang Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita Calon Arang (2003). Ia  berharap karyanya dapat menyelematkan ingatan masyarakat terhadap dongeng ini. Cerita ini berdasarkan naskah Jawa dan Bali. Naskah Jawa diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh R. Ng. Purbatjaraka dalam Bijdr. K.I dell 82 hlm. 100-180, kemudian dimacapatkan (dilagukan) oleh Raden Wiradat dan terbitkan Balai Pustaka pada 1931.

Poerbatjaraka menduga naskah tersebut  ini mungkin sekitar tahun 1462 Saka. Kisah ini  dihubungkan dengan  Prasasti Sanguran (Calcutta Stone) bertahun 1041. Beberapa  peneliti menyebutkan bahwa prasasti itu menyebut pendeta  perempuan yang sangat sakti mandraguna seperti raksasi, raksasa perempuan. Sihirnya dapat dibinasakan oleh Airlangga, raja yang masyhur. Pendeta itu, dianggap Calon Arang yang merupakan tokoh sentral yang diangkat Pramoedya tersebut. Meskipun dalam cerita itu, tidak digambarkan wujudnya sebagai raksasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement