Jumat 30 Jul 2021 15:16 WIB

Diplomasi Kesehatan Harus Fokus Pada Pemerataan Akses Vaksin

Kemenlu menjadi salah satu garda terdepan dalam upaya penyediaan vaksin di Indonesia.

Petugas medis menunjukkan vaksin Sinovac Biofarma (ilustrasi).
Foto: ARI BOWO SUCIPTO/ANTARA
Petugas medis menunjukkan vaksin Sinovac Biofarma (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Diplomasi kesehatan global seharusnya fokus pada pemerataan akses dunia terhadap vaksin dan terapi untuk meningkatkan kesehatan populasi dunia. Diplomasi yang didasari atas dasar solidaritas global dan mengutamakan nilai kemanusiaan.

Sehingga setiap negara harus mengedepankan kerja secara kolektif, membangun solidaritas global, gotong-royong untuk berkolaborasi dalam penelitian dan pengembangan, peningkatan skala produksi dan manufaktur, termasuk memasok alat Covid-19.

"Sayangnya saat ini, masih terdapat kecenderungan persaingan beberapa negara yang berhasrat meningkatkan pengaruhnya di kawasan demi kepentingan politik dan ekonomi," kata Prof Dr Arry Bainus, MA, guru besar studi keamanan, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung di Jakarta, Rabu (28/7).

Ia mengemukakan hal itu dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial ke-1 dengan tema 'Solidaritas, Kreativitas & Koneltivitas'. Konferensi mengkaji dari ilmu politik, ilmu hubungan internasional, sosiologi dan ilmu komunikasi. Fokus masalah penanganan Covid-19 yang diselenggarakan secara virtual dengan tuan rumah Universitas Nasional (Unas).

Konferensi ini merupakan konsorsium publikasi ilmiah bidang ilmu sosial bekerja sama dengan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) DKI Jakarta. Tampil sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Acara dibuka Wakil Rektor Unas bidang akademik dan kemahasiswaan Dr Suryono Effendi. Ditutup oleh Ketua LLDIKTI III Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Agus Setyo Budi, M.Sc.

Arry Bainus mengungkapkan, masih terdapat negara-negara yang lebih mementingkan dirinya sendiri, karena mampu membayar untuk mendapatkan prioritas pasokan vaksin. Hal itu didasari kesepakatan bisnis secara bilateral dengan industri farmasi, yang berdampak pada kenaikan harga dan kurangnya pasokan untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Selain itu, lanjutnya, masih terdapat kontrol industri farmasi terhadap hak atas kekayaan intelektual (HAKI), khususnya bidang paten. Sehingga memberikan hak monopoli terhadap perusahaan farmasi untuk mengatur mulai dari produksi, distribusi, sampai dengan menentukan harga demi menumpuk keuntungan dari kebutuhan vaksin Covid-19.

Diplomasi Indonesia

Menurut Arry Bainus, untuk menanggulangi Covid-19, Indonesia telah melakukan enam langkah. Pertama, bekerjasama dengan 94 pihak internasional. Terdiri dari sembilan negara, sembilan organisasi internasional, dan 76 lembaga nonpemerintah.

Kedua, berkolaborasi internasional dan perlindungan warga negara di luar negeri. Seperti menjadi tuan rumah dalam kegiatan Forum Global Public Health (FGPH) 2020. Ketiga, menunjukan bukti pentingnya isu kesehatan global merupakan isu bersama (public good), bersifat lintas sektoral dan melewati lintas batas negara.

Keempat, transnasionalisme. Masuk dalam Kelompok Koordinasi Menteri tentang Covid-19 (MCGC). Kelima, mekanisme yang adil dalam distribusi vaksin, transfer pengetahuan dari produsen vaksin ke negara-negara non-produsen (TRIPs), dan kerja sama internasional dalam pengembangan dan produksi vaksin.

Juga mengusulkan pembentukan Covid-19 ASEAN Response Fund dan dorongan untuk pengembangan cadangan pasokan medis regional. Keenam, peningkatan kapasitas Indonesia dalam pencegahan, deteksi dan respons.

Diplomasi yang dilakukan Indonesia, lanjut Arry, antara lain menjalankan diplomasi vaksin secara bilateral maupun multilateral ke berbagai organisasi internasional, negara dan perusahaan. Di samping Indonesia pun menjadi salah satu negara yang berkontribusi untuk menemukan dan memproduksi vaksin.

Bahkan dalam kerja sama nultilateral pengadaan vaksin, kata dia, bersama Menteri Kesehatan Ethiopia dan Menteri Pembangunan Internasional Kanada, Menlu Retno Marsudi menjadi Co-Chair dari Covid-19 Vaccine (Covax) Advance Market Commitment Engagement Group (AMC-EG), yang merupakan forum antara negara AMC dengan negara-negara donor untuk pengadaan serta distribusi vaksin bagi 92 negara yang tergabung dalam AMC.

"Namun hal itu, tidaklah mudah mengingat akses dan ketersediaan vaksin yang semakin terbatas di dunia. Menyusul pandemi gelombang kedua yang mengejutkan berbagai negara," ujar Arry.

Komitmen kesetaraan

Arry mengakui, Kementerian Luar Negeri menjadi salah satu garda terdepan dalam upaya penyediaan vaksin tersebut. Lobi-lobi dilakukan agar Indonesia bisa mendapatkan akses ke negara-negara produsen vaksin.

Hasilnya Indonesia telah mendapatkan 75.910.500 dosis vaksin dengan rincian Sinovac 68.500.000 dosis, Astrazeneca 6.410.500 dosis, dan Sinopharm sebanyak 1.000.000 dosis. Pemerintah Indonesia pun mengamankan sedikitnya tambahan 10 juta dosis vaksin dari negaranegara sahabat, yaitu Belanda, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris.

Dia mengemukakan, Indonesia berupaya untuk memenuhi komitmen kesetaraan akses vaksin bagi semua negara. Usaha ini dilakukan oleh Covac Facility yang didukung aliansi global vaksin GAVI, WHO, the Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), dan bermitra dengan Unicef untuk memenuhi vaksin setara bagi semua negara.

Selain itu, berpartisipasi dalam WHO Solidarity Trial yang bertujuan untuk mempercepat penemuan obat dan vaksin yang berkualitas, manjur dan aman. Termasuk menggalang kerja sama riset untuk penanganan Covid-19. Menegakkan diplomasi perlindungan dalam mendapatkan obat dan calon vaksin Covid-19.

"Indonesia menjadi penghubung antara pihak di dalam dan luar negeri. Biofarma dengan Sinovac dari China untuk jenis inaktivasi virus. Kemudian Kalbe Farma dengan Genexine dari Korea Selatan untuk jenis vaksin DNA, dan Biofarma dengan CEPI," kata guru besar Unpad ini.

Selain itu, lanjut Arry, Biofarma berperan ikut serta dalam global health security dengan menyediakan vaksin yang berkualitas sesuai dengan standar WHO. Selain itu ikut andil di negara berkembang yang tergabung dalam Developing Countries Vaccine Management Network (DCVMN) dan Organisation of Islamic Cooperation (OIC).

Selain Arry Bainus dari Unpad untuk bidang hubungan internasional, tampil sebagai pembicara lainnya, untuk bidang ilmu politik Prof Dr Syarif Hidayat dari Unas, bidang ilmu komunikasi Prof Dr Rudy Harjanto dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta, dan bidang sosiologi Dr Erna Ermawati Chotim dari Unas. Acara dimoderatori Dr Verdinand Robertua dari Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Kegiatan ini terselenggara atas inisiasi dari beberapa universitas yang tergabung dalam konsorsium publikasi ilmiah bidang ilmu sosial yang dibentuk oleh LLDIKTI Wilayah III Jakarta. Adapun anggota konsorsium pertama ini, Unas sebagai tuan rumah, Universitas Prof Moestopo (beragama), Universitas Pelita Harapan, Universitas Muhammadiyah Jakarta, UKI, Universitas Bakrie, dan Universitas Bina Nusantara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement