REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Amri Amrullah, Zainur Mashir Ramadhan, Haura Hafizhah, Antara
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, mengancam akan memindahkan aparatur sipil negara (ASN) yang tidak becus ke Papua. Aktivis HAM Papua, Natalius Pigai, menilai pernyataan Risma tersebut rasis.
"Rasisme sistematis terus berlangsung dan otak-otak rasis ini masih dipelihara, beri jabatan dan kekuasaan. Sementara Jokowi selalu diam atau dia juga pendukung rasisme entahlah," kata Pigai dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (14/7).
Pernyataan Risma tersebut, menurut Pigai berbahaya karena bisa membuat orang Papua tersinggung. Oleh karena itu, tidak heran jika Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus membenci dan mengancam masyarakat suku Jawa di Papua.
"Konflik di Papua itu konflik rasialisme dan itu sudah sudah lama dipelihara kekuasaan di Jawa," ujar mantan Komisioner Komnas HAM tersebut.
Pigai juga menyebut pernyataan rasis Risma dipandang seideologi dengan PDIP dan Jokowi. Menurutnya, hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya putra asli Papua di kabinet pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
"Itu rasis dan apartheid," ungkapnya.
Pigai juga mengungkapkan kekecewaan terhadap pemerintah yang terus mengeruk kekayaan Papua. Namun, di sisi lain rakyat Papua terus menjadi korban rasisme.
"Atas nama rasisme; emas, perak, uranium, plutonium kau rampok terus, bikin gedung-gedung pencakar langit dilapisi emas, jembatan tanpa sungai melintasi metropolitan Jawa. Semua kekuasaan kau gunakan membantai bangsa Papua. Tapi kau tidak akan pernah rampok harkat & martabat bangsa Papua," tegas Pigai.
Kritik itu juga muncul dari banyak pihak di media sosial seperti Twitter. Sebut saja Budayawan Sujiwo Tejo, yang mengatakan jika ucapan Risma bisa menjadi cara pandang merendahkan Papua.
"Maaf, Bu Risma, bila berita ini benar, apakah bu Risma tidak sedang merendahkan Papua?’’ tanya dia di Twitter-nya, kemarin.
Senada dengannya, politikus Demokrat Andi Arief juga menyatakan, sikap Risma dengan menyebutnya sebagai bentuk merendahkan. Menurutnya, alam bawah sadar Risma sudah merendahkan Papua melalui ucapannya sendiri.
"Alam bawah sadar bu Risma merendahkan Papua. Tapi, tidak usah diperpanjang, mudah-mudahan tidak diulangi," jelas dia di akun Twitter-nya.
Pengamat Komunikasi Politik, Suko Widodo, mengkritik sikap dan cara kepemimpinan Risma. Menurut dia, ancaman Risma untuk memutasikan ASN Kemensos di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna Kota Bandung ke Papua, merupakan bentuk gaya komunikasinya yang tidak berubah.
"Itu dari dulu gaya komunikasi Bu Risma. Lebih pada gaya komunikasi instruktif, bukan persuasif,’’ ujar dia kepada Republika, Rabu (14/7).
Dia menambahkan, gaya komunikasi Risma seakan sulit dihilangkan dan diubah, meski sudah sering diingatkan. Risma, kata dia, cenderung terlalu mengutamakan emosi.
"Terlalu berharap ideal, tetapi realita acap kali beda. Itu (yang) membuatnya emosian," kata Suko.
Suko tak menampik kepemimpinan Risma yang selalu menjadi sorotan. Menurut dia, akan lebih baik jika Risma bisa mengubah kepemimpinannya menjadi pribadi yang lebih banyak mendengarkan.
"Juga agar (Risma) lebih banyak berdialog," jelas dia.
Namun, Anggota Komisi I DPR, Yan Permenas Mandenas menilai wajar pernyataan Risma sebagai bentuk spontanitas. Sehingga, menurutnya, tidak perlu dibesarkan dan dijadikan polemik.
"Saya pikir pernyataan Bu Risma itu spontan dan wajar. Beliau memberikan ilustrasi kepada ASN kalau di Papua itu letak geografisnya sulit dan kehidupannya mahal. Jadi, ini sebagai pelajaran ASN agar bekerja lebih baik lagi," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (14/7).
Kemudian, ia melanjutkan hal ini tidak usah dibesarkan dan disangkutpautkan dengan kesan yang negatif. Sebab, Mensos memberikan pernyataan dengan spontan bukan direncanakan. Maka dari itu, ia mengimbau lebih baik masyarakat dan pemerintah fokus terhadap penanganan pandemi Covid-19.
"Tidak usah diperdebatkan. Itu kan pernyataan antara Mensos dan ASN. Dan itu spontan. Saya anggap positif. Kecuali direncanakan dengan buat pidato resmi itu lain lagi," kata dia.
Klarifikasi Kemensos
Kementerian Sosial (Kemensos) hari ini memberikan penjelasan soal pernyataan Risma yang memarahi pegawainya dan ancaman memutasi ke Papua. Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Raden Harry Hikmat menjelaskan, pernyataan Risma tersebut bagian dari memotivasi jajaran Kemensos agar berani bekerja dengan keluar dari zona nyaman.
Menurut dia, Mensos 'melecut' semangat pegawai agar peka dan lebih fokus melayani masyarakat di masa kedaruratan seperti saat ini. Maka keluarlah ucapan Mensos, yang mengistilahkan "pergi ke Papua" saat mengunjungi Dapur Umum Balai Sosial Wyata Guna Bandung, Selasa (13/7).
Menurut Harry, ini merupakan upaya meningkatkan empati pegawai terhadap kondisi terkini masyarakat. Tujuannya, agar pegawai mampu bekerja dengan hati, harus keluar dari zona nyaman terlebih dahulu.
“Itulah yang dimaksudkan dengan pernyataan akan dipindahkan ke Papua, tempat yang paling jauh (dari Bandung) tapi masih di Indonesia," terang Harry, Rabu (14/7).
Ia mengingatkan, pesan tersebut agar seluruh pegawai mampu keluar dari zona nyaman. Bekerja di tengah pandemi, meninggalkan keluarga dan kenyamanan rutinitas yang dialami sehari-hari.
"Ini untuk berperan mengatasi masalah sosial dari Aceh sampai Papua,” kata Harry menegaskan.
Arahan Mensos Risma dalam kunjungan kerjanya kemarin, jelas Harry, harus dimaknai sebagai cambuk untuk seluruh jajaran Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI. Apalagi dalam kunjungan tersebut sempat Balai menyuguhkan hiburan dan hiasan yang tidak perlu dalam kondisi kedaruratan.
“Kami harus belajar dari relawan Tagana (Taruna Siaga Bencana) bagaimana cara mengoperasikan dapur umum,” terangnya.
Pada Selasa (13/7), Risma memprotes kepada sejumlah ASN yang ada di Balai Wyataguna Bandung karena dinilai tidak ikut membantu memasak di dapur umum yang dibuat oleh Kemensos. Saat kunjungan, Risma mendapati adanya dapur umum yang hanya dikerjakan oleh petugas dari Tagana dan petugas lainnya.
Sementara ia menilai ASN lainnya di lingkungan Kemensos hanya bekerja di dalam kantornya masing-masing. "Jadi jangan pisah-pisahkan, kalau aku bikin (dapur umum) di sini berarti itu Kementerian Sosial, bukan Ditjen Rehabilitasi Sosial, sehingga tidak ada yang nongol, ini Kementerian Sosial, kok masih dikotak-kotakan kayak gitu," kata Risma di Balai Wyataguna, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa.
Menurut Risma, seluruh unsur yang bekerja di lingkungan sosial perlu meningkatkan kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi yang dialami rakyat kecil saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Risma menilai dapur umum yang dibuat untuk melayani kebutuhan makanan masyarakat belum tentu bisa berjalan optimal apabila para ASN masih fokus dengan pekerjaanya masing-masing.
"Masyarakat di sana enggak bisa makan karena enggak boleh jualan, enggak boleh aktivitas, tapi kalau kerjanya (dapur umum) kayak gitu, ya mana bisa," kata Risma.
Mantan Wali Kota Surabaya itu pun mengancam akan memutasikan para ASN di Wyataguna itu untuk bekerja di daerah Papua karena tidak turut membantu pekerjaan di dapur umum tersebut.
"Sekarang saya enggak mau lihat seperti ini, kalau saya lihat lagi, saya pindahkan ke Papua, saya enggak bisa mecat kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana teman-teman," kata dia.