Selasa 13 Jul 2021 19:45 WIB

BPOM Jelaskan Penumpukan Obat Covid-19 di Pedagang Besar

Pedagang besar tidak salahi aturan karena menunggu pesanan obat Covid-19.

Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo memperlihatkan barang bukti berupa satu boks obat Covid-19 jenis azithromycin di sebuah gudang di Jalan Peta Barat, Ruko Peta Barat III C8, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (12/7) malam. Sebuah perusahaan diketahui menimbun ratusan boks azithromycin di gudang tersebut.
Foto: Republika/Febryan A
Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo memperlihatkan barang bukti berupa satu boks obat Covid-19 jenis azithromycin di sebuah gudang di Jalan Peta Barat, Ruko Peta Barat III C8, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (12/7) malam. Sebuah perusahaan diketahui menimbun ratusan boks azithromycin di gudang tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito, mengemukakan penumpukan stok obat terapi Covid-19 di gudang penyimpanan Pedagang Besar Farmasi (PBF) resmi tidak menyalahi aturan. Pedagang besar menunggu pesanan dari konsumen.

"PBF yang resmi itu bisa jadi dianggap menumpuk obat, tapi sebenarnya itu kewenangan mereka menunggu 'order' dulu," katanya, saat hadir secara virtual dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR RI yang dipantau dari Jakarta, Selasa (13/7).

Baca Juga

Sesuai peraturan distribusi obat, kata Penny, PBF yang memeroleh kewenangan untuk menyimpan obat yang belum mendapatkan pemesanan baik dari konsumen maupun perusahaan rekanan. Penny mengatakan distribusi obat tidak secara otomatis bisa dilakukan PBF meskipun di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang saat ini terjadi di Tanah Air.

Berdasarkan undang-undang kesehatan dan peraturan cara distribusi obat yang baik, kata Penny, peristiwa penumpukan obat di tingkat PBF dapat diawasi secara langsung oleh otoritas berwenang. "Data ini bisa digunakan, misalnya oleh Kemenkes untuk menarik produk obat yang dibutuhkan bagi zona merah. Realokasi obat-obat yang dibutuhkan daerah lain berdasarkan sistem laporan tersebut," katanya.

Berdasarkan hasil inspeksi BPOM terhadap proses distribusi obat terapi Covid-19 di instalasi PBF resmi, kata Penny, hingga Jumat (9/7) belum ada indikasi penimbunan yang ilegal. "Berdasarkan hasil inspeksi instalasi resmi PBF, dapat kami katakan bahwa belum ada indikasi penimbunan ilegal karena itu sesuai Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Hanya alasannya apa, ada hal lain yang bisa diobservasi lagi, misalnya harga dan sebagainya, itu di luar dari BPOM," katanya.

Zat aktif obat terapi Covid-19 yang telah mendapatkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat dari BPOM di antaranya, Remdesivir untuk pasien dalam bentuk serbuk injeksi dan larutan konsentrat untuk infus. Remdisivir berbentuk serbuk injeksi diproduksi dengan sejumlah nama obat di antaranya Remidia, Cipremi, Desrem, Jubi-R, Covifor, dan Remdac, sedangkan Remdisivir dalam bentuk larutan konsentrat bernama Remeva.

Remdisivir diberikan kepada pasien dewasa dan anak yang dirawat di rumah sakit setelah dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19 dengan derajat keparahan berat. Zat aktif yang juga memperoleh izin darurat adalah Favipirapir dalam bentuk tablet salut selaput. Saat ini Favipirapir diproduksi dengan nama obat Avigan, Favipirapir, Favikal, Avifavir, dan Covigon. Indikasi obat tersebut diberikan kepada pasien Covid-19 dengan derajat keparahan sedang yang dikombinasi dengan standar pelayanan kesehatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement