REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Edhy Prabowo, ditemukan fakta mengenai bank garansi. Edhy sendiri dituntut hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Bahwa Habrin Yake selaku Kepala Balai besar karantina ikan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan Jakarta 1 Soetta, menandatangani surat komitmen dengan seluruh eksportir BBL (benih benur lobster) sebagai dasar untuk menerbitkan bank garansi di bank BNI yang dijadikan jaminan ekspor BBL," ujar Jaksa KPK Ronald F Worotikan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Selasa (29/6).
Selanjutnya, kata Jaksa, atas permintaan saksi Andreau Misanta Pribadi, para eksportir BBL diharuskan menyetor uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh Edhy Prabowo ke rekening bank garansi sebesar Rp 1.000 per ekor BBL untuk jenis pasir, dan Rp 1.500 per ekor BBL untuk jenis mutiara. Padahal, saat itu Kemenkeu belum menerbitkan revisi PP tentang penerimaan negara bukan pajak ekspor BBL.
"Sehingga kemudian terkumpul uang di bank garansi seluruhnya Rp 52.319.542.040,00," ujar Jaksa.
Berdasarkan fakta persidangan diperoleh keterangan saksi Habrin Yake bahwa dari seluruh perusahaan eksportir BBL yang telah membayar jaminan bank garansi, terdapat tiga perusahaan yang belum melakukan realisasi ekspor BBL. Jaksa pun merinci tiga perusahaan tersebut yakni UD Bali Sukses Mandiri sebesar Rp 150 juta, PT Sinar Lautan Perkasa Mandiri sebesar Rp 120 juta dan PT Hutama Asia Sejahtera sebesar Rp 250 juta.
"Dengan demikian penuntut umum berpendapat, bahwa jaminan bank garansi yang telah dibayarkan oleh ketiga perusahaan yang belum merealisasikan ekspor BBL sudah selayaknya untuk dikembalikan kepada perusahaan tersebut," ujar Jaksa.
Sementara itu, berkaitan dengan uang sejumlah Rp 51.799.542.040,00 sebagaimana disetorkan seluruh perusahaan eksportir BBL yang mengajukan permohonan ke KKP dan telah melakukan realisasi ekspor sementara belum adanya peraturan lebih lanjut dari Kemenekeu yang mengatur mengenai hal tersebut.
"Oleh karenanya agar uang-uang yang telah dikumpul tersebut, tidak disalahgunakan maka penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang mulia agar uang tersebut dinyatakan dirampas untuk negara," ujar Jaksa.
Selain pidana badan, Edhy juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan. Edhy dinilai telah terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur.
Edhy juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Edhy selesai menjalani masa pidana pokok. Jaksa meyakini suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya.
Adapun, dalam menjatuhkan hukumannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal. Untuk hal yang memberatkan, Edhy Prabowo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN.
"Terdakwa selaku penyelenggara negara yaitu menteri tidak memberikan teladan yang baik," ungkap jaksa.
Sementara itu untuk hal meringankan, Edhy dinilai bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian aset sudah disita.