REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, pesimistis wacana perpanjangan jabatan presiden lewat amendemen UUD 1945 dapat terealisasi. Ia menilai, waktu yang tersedia hingga Pemilu 2024 cenderung mepet untuk dilakukan amendemen.
Ismail menjelaskan, prosedur amendemen UUD 1945 cenderung rumit dan panjang. Ia menekankan proses amendemen tak bisa dilakukan terburu-buru demi kepentingan tertentu.
"Prosesnya tidak bisa dilakukan secara gegabah, terburu-buru karena konstitusi adalah hukum dasar, karena itu sangat diperlukan kajian serius dalam waktu yang cukup," kata Ismail kepada Republika, Rabu (23/6).
Ismail menyebut, tahapan Pemilu 2024 sudah bisa dimulai tahun depan atau tepatnya Maret 2022. Dengan waktu tersisa, ia meragukan wacana amendemen akan terlaksana. Apalagi wacana tersebut bakal berbenturan dengan beragam kepentingan di parlemen.
"Secara teknis, waktunya tidak akan cukup dan kalau pun memaksakan diri, saya kira akan terjadi pergolakan politik serius karena di parlemen tidak satu warna (banyak kepentingan)," ujar Direktur Eksekutif Setara Institute itu.
Ismail menilai, wacana perpanjangan jabatan presiden menimbulkan riak yang tak sedikit di parlemen. Sehingga menurutnya, lobi-lobi parpol penggagas wacana itu akan berlangsung alot.
"Amendemen topik ini (jabatan presiden) serius. Beda cerita dengan GBHN atau kewenangan DPD. Ini sangat serius. Secara teknis saya lihat tidak mungkin," ucap Ismail.
Sebelumnya, muncul isu adanya pihak yang giat mencoba memperpanjang masa jabatan Jokowi. Mereka berencana melakukan misinya dengan berbagai cara. Skenario pertama ialah membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Adapun skenario kedua, memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun.