REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago memandang perlu memasukkan ketentuan pemidanaan polisi yang salah tangkap ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). "Harus ada aturan tersebut agar penegak hukum kepolisian tidak bisa sembarang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya," kata dia di Semarang, Selasa (22/6) pagi.
Guru besar tersebut mengemukakan hal itu ketika merespons Pasal 282 dan Pasal 515 RUU KUHP terkait dengan pemidanaan terhadap advokat yang curang dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal-pasal tersebut juga sempat dipertanyakan oleh pakar hukum dari Unissula Semarang Jawade Hafidz karena ancaman pidana hanya berlaku terhadap advokat yang notabene penegak hukum.
Prof Faisal sependapat dengan Jawade bahwa ketentuan pemidanaan juga berlaku terhadap penegak hukum kepolisian agar lebih berhati-hati sebelum menangkap orang atas dugaan melakukan tindak pidana. "Penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, harus profesional ketika menjalankan tugasnya. Polisi jangan semena-mena menangkap seseorang tanpa bukti lengkap," kata Prof Faisal.
Ia lantas mengusulkan ada ketentuan itu di dalam RUU KUHP yang terdiri atas 36 bab dan 628 pasal agar penegak hukum kepolisian lebih profesional dalam menjalankan tugas dan wewenang. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16.
Dengan demikian, dia mengatakan, polisi yang salah tangkap ada sanksinya, baik secara hukuman maupun etika profesi. Terkait dengan etika profesi dan penyidikan sudah diatur di dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.