Ahad 09 Mar 2025 17:46 WIB

Pakar Pidana Dorong Personel Polsek Geyer yang Salah Tangkap Dihukum

Polisi berpangkat Aipda mengintimidasi pencari bekicot, ternyata korban salah tangkap

Pakar hukum pidana Boris Tampubolon.
Foto: Republika.co.id
Pakar hukum pidana Boris Tampubolon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredar video personel Polsek Geyer berpangkat Aipda di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, melakukan intimidasi kepada seorang warga bernama Kusyanto. Warga yang bekerja sebagai pencari bekicot di sawah tersebut dicekik hingga dipaksa mengaku melakukan pencurian.

Warga itu pun sampai menangis karena diintimidasi untuk mengaku, padahal ia bukan pelaku pencurian sebagaimana yang dituduhkan alias korban salah tangkap. Video itu pun viral di media sosial, khususnya X. Pakar hukum pidana Boris Tampubolon merasa sangat prihatin dan menyesalkan perbuatan oknum polisi tersebut.

Baca Juga

"Menurut saya perbuatan oknum polisi yang melakukan intimidasi untuk mendapatkan pengakuan dalam video tersebut sangat tidak profesional dan jelas telah melanggar hukum. Polisi seharusnya menjalankan tugas dengan profesional, sesuai prosedur hukum dan menghormati hak asasi manusia," ucap Boris di Jakarta, Ahad (9/3/2025).

Merujuk Pasal 5 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, setiap polisi wajib menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawab secara profesional, proporsional, dan prosedural. Pasal 7 huruf a Perkap juga menyatakan, polisi wajib menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.

Boris menekankan, polisi tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan intimidasi kepada siap apun untuk mengejar pengakuan. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 10 ayat 2 huruf e Perkap yang intinya menyatakan, polisi dilarang melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa, intimidasi dan atau kekerasan untuk mendapatkan pengakuan.

"Dinyatakan juga dalam Pasal 13 ayat 1 huruf a Perkap 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM bahwa polisi dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan," kata founder Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (DNT Lawyers) tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement