REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, menyayangkan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK yang tiba-tiba dikatakan menjadi rahasia negara. Padahal menurutnya, sejak awal tidak ada pemberitahuan bahwa hasil tes tersebut bersifat rahasia negara.
Hal ini menanggapi pernyataan kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, yang mengatakan bahwa hasil TWK bisa dibuka melalui mekanisme pengadilan. "Padahal itu hak kami. Kami juga bersedia hasil kami dibuka ke publik, agar semua jelas dan transparan," katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (19/6).
Yudi mengatakan, hingga saat ini pegawai KPK belum mendapatkan hasil tes wawasan kebangsaan tersebut. Karenanya, ia menyebut hal itu tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat transparansi dan akuntabilitas.
Sementara itu, Yudi menyatakan pihaknya saat ini masih menunggu hasil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan pemilihan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). TWK tersebut berdampak signifikan terhadap kegagalan 75 pegawai KPK.
"Kami harapkan bahwa hasil Komnas HAM positif bagi perjuangan kami. Karena ini bukan sekedar masalah 75 orang saja tetapi masalah masa depan pemberantasan korupsi," ujarnya.
Yudi menambahkan, secara peraturan sudah jelas bahwa pegawai KPK hanya beralih status dari yang dulunya pegawai tetap dan tidak tetap KPK menjadi PNS. Selain itu, kata Yudi, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa peralihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK yang telah belasan tahun memberantas korupsi.
"Bahkan arahan Presiden Jokowi pun jelas bahwa 75 orang ini tidak boleh diberhentikan karena TWK," ucapnya.
Sebelumnya, Bima mengatakan BKN tidak memiliki hak untuk membuka hasil TWK pegawai KPK ke publik dan itu bisa dibuka melalui mekanisme pengadilan. Sebab, menurut Bima, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan tersebut menggunakan instrumen milik Dinas Psikologi TNI AD dan profiling dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ia juga menyebut bahwa instrumen profiling milik BNPT yang dilakukan melalui proses dan aktivitas intelijen, sehingga menjadi rahasia negara. Di sisi lain, Komnas HAM juga memberikan kesempatan empat pimpinan dan sekjen KPK untuk memberikan keterangan terkait penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dalam penyelenggaran TWK terhadap pegawai KPK hingga akhir bulan ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron telah memenuhi panggilan Komnas HAM pada Kamis (17/6). Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya memberikan kesempatan kepada pimpinan KPK yang lain karena ada beberapa hal yang tidak bisa dijawab oleh Ghufron. Pasalnya, ada pertanyaan yang sifatnya tidak terkait dengan kebijakan kolektif kolegial, melainkan terkait dengan peran masing-masing pimpinan.