Selasa 15 Jun 2021 15:56 WIB

Kesediaan Firli Bahuri dkk Usai Wacana Pemanggilan Paksa

Pimpinan KPK akhirnya bersedia memenuhi panggilan Komnas HAM terkait polemik TWK.

Foto kombo pimpinan KPK periode 2019-2023 saat dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).
Foto:

Pada Senin (14/6), sejumlah guru besar antikorupsi menyambangi gedung Komnas HAM pada Senin (14/6). Kedatangan para guru besar ini untuk mendorong Komnas HAM agar melakukan upaya paksa untuk menghadirkan Firli Bahuri dkk.

"Jadi, tadi itu Prof Susi dari Unpad bahkan memberikan dorongan kepada Komnas HAM, saya paham kata beliau memang Komnas HAM kalau misalnya para pihak yang dimintai keterangan dan juga tidak bersedia hadir, sebenarnya ada upaya paksa melalui pengadilan yang bisa dilakukan," kata pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (14/6).

Bivitri menuturkan, para guru besar mendukung Komnas HAM untuk melakukan upaya paksa menghadirkan Firli Bahuri Cs. Keterangan Ketua KPK Firli Bahuri maupun empat Wakil Ketua KPK lainnya dianggap penting untuk mengonfirmasi dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK.

"Semuanya guru besar justru sangat mendukung dan bahkan memberikan tips dan trik bagi Komnas HAM supaya nanti lancar, ketika melakukan pemeriksaan dan menulis rekomendasi," ujar Bivitri.

Selain Prof Susi Dwi Harijanti, hadir juga Prof Sigit Riyanto, Prof Supriadi Rustad, Prof Atip Latipulhayat, Prof Sukron Kamil, Prof Ruswiati Suryasaputra, Prof Hariadi Kartodihardjo, dan Prof Azyumardi Azra.

"Selaku pejabat publik yang terikat dengan etika bernegara, Guru Besar Antikorupsi mendesak agar pimpinan KPK berani untuk memenuhi panggilan kedua Komnas HAM pada esok hari," kata salah satu perwakilan Koalisi Guru Besar Antikorupsi sekaligus Guru Besar UIN Azyumadri Azra dalam keterangannya, Senin (14/6).

Kemudian, ia melanjutkan terkait dengan TWK sendiri, sudah secara terang benderang kalau secara formalitas kegiatan itu mempunyai permasalahan serius. Bagaimana tidak, penyelenggaraan TWK hanya mendasarkan pada regulasi internal KPK, sedangkan pada waktu yang sama Undang-Undang KPK ataupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 nihil menyinggung terkait tes atau asesmen. Jadi, secara sederhana mesti dikatakan bahwa penyelenggaraan TWK bermasalah secara hukum.

Azyumardi menambahkan, substansi pertanyaan yang diberikan kepada seluruh pegawai KPK jelas melanggar hak asasi manusia. Karena itu, Guru Besar Antikorupsi memberikan masukan dan dukungan bagi Komnas HAM yang sedang melakukan penyelidikan untuk dapat mengusut tuntas skandal ini.

"Kami tegaskan Komnas HAM memiliki kewenangan secara hukum untuk menelusuri lebih lanjut problematika TWK dari sudut pandang pelanggaran HAM," kata dia.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, tak memungkiri kewenangan upaya paksa Komnas HAM memang diatur dalam undang-undang. Namun, menurut dia, Komnas HAM harus terlebih dahulu meminta pengadilan untuk melakukan pemanggilan paksa.

"Secara hukum dan kewenangan dalam undang-undang sudah diatur istilah soal panggilan paksa, memang prosedurnya harus melibatkan pengadilan negeri. Apakah kita akan menggunakan kewenangan itu atau tidak, sampai sekarang menganggap kolega-kolega kami di KPK berniat baik untuk datang," kata Anam.

 

photo
Pimpinan KPK, Kemenpan RB, dan BKN memutuskan memecat 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). - (Republika.co.id.)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement