Jumat 11 Jun 2021 11:27 WIB

Saat Perguruan Tinggi di Indonesia Ketinggalan Kereta

Peringkat kampus-kampus Indonesia kalah jauh dari negara tetangga seperti Singapura.

Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Foto:

Ketua Penjaminan Mutu Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Chrisdina Wempi, berpendapat, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sudah harus mulai melihat pemeringkatan yang basisnya bukan hanya kuantitatif, melainkan kualitatif juga. Mengapa hal itu menjadi penting, menurut dia, karena pembentukan kompetensi lulusan perlu mempertimbangkan industri yang saat ini mengedepankan soft skill.

Cara ini dinilai mampu memperbaiki kualitas pembelajaran di perguruan tinggi untuk mengejar ketertinggalan. "Ketika saat ini mahasiswa diminta memiliki SKPI (surat keterangan pendamping ijazah) yang berisikan kemampuan di luar akademik, maka perguruan tinggi juga harus mulai melengkapi diri dengan hal yang sama. Ini akan menjadi 'adil' bagi perguruan tinggi terapan untuk menunjukkan kualitasnya," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (10/6).

Artinya, harus ada sinergi antara mahasiswa, kampus, dan kementerian terkait untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Ia mencontohkan, saat ini mahasiswa di LSPR sudah melewati masa transisi.

"Kebiasaan membaca referensi, baik buku atau sumber lainnya, sudah mulai muncul. Hanya saja kesadaran untuk memilah-milah sumber masih perlu dibangun. Terkait soft skill saat ini mahasiswa mulai kreatif mencari pemecahan dengan memanfaatkan berbagai macam platform. Tetapi, kontribusi pada lingkungan tentunya berkurang," kata dia.

photo
Ilustrasi Mahasiswa. - (Reuters/Patrick T Fallon)

Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Dr Ismunandar dalam keterangannya menyampaikan hasil pemeringkatan menjadikan ada perbedaan yang besar antara perguruan tinggi di Indonesia dan perguruan tinggi di luar negeri. Menurut dia, peringkat perguruan tinggi itu penting karena untuk meningkatkan kualitas.

“Ranking perguruan tinggi itu penting. Tidak hanya untuk berlomba, tetapi untuk meningkatkan kualitas dan utamanya tidak melupakan Tridharma Perguruan Tinggi,” kata Prof Dr Ismunandar ketika menjadi narasumber dalam webinar "Kampus Indonesia Menuju Top Ranking Dunia".

Pendiri dan Direktur Eksekutif Wahib Institute, Syukron Jazila berkata, di di tingkat perguruan tinggi, sistem pendidikan kita terjebak pada budaya birokratisasi. Di mana pendidikan bukan lagi bertujuan membentuk warga negara yang "tercerahkan" (peduli terhadap nasib negeri di masa depan, misalnya). "Alih-alih demikian, produk pendidikan kita hanya puas dengan melatih peserta didik untuk mendapat pekerjaan," kata Syukron.

Menurut dia, perguruan tinggi di Indonesia berputar-putar pada target naik pangkat dan lomba kuantitas publikasi di jurnal ilmiah internasional (terindeks scopus misalnya). Padahal, jumlah artikel ilmiah yang sudah diterbitkan di jurnal bukanlah ukuran luasnya manfaat yang dapat dituai oleh sarjana untuk kepentingan sosial sekitarnya.

Apalagi, artikel jurnal hanya dapat dijangkau oleh mereka yang punya akses terhadap ilmu pengetahuan. "Dan kita tahu, jurnal-jurnal ilmiah internasional tidak bisa diakses secara cuma-cuma. Ini menambah jurang pemisah antara kaum sarjana dan yang bukan," ucap dia.

Dari sini tujuan pertama pendidikan "untuk semua orang" tidak tercapai, apalagi mau bicara tentang prinsip pendidikan —yang juga belum jelas akarnya. "Mau mendahulukan pendidikan kritis atau yang semacam apa. Ini masih tanda tanya besar," kata dia.

Dalam peringkat Universitas Terbaik di Dunia (Versi QS World Ranking 2022), ada 16 Kampus Indonesia yang masuk daftar...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement