Kamis 10 Jun 2021 08:01 WIB

Empat Pasal di RKUHP yang Dinilai Mengkhawatirkan

Pasal atur penghinaan presiden, wakil presiden, lembaga negara dan kekuasaan umum.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti
Foto: Republika/Febryan.A
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti, menyebut setidaknya terdapat empat pasal sangat mengkhawatirkan dalam RUU KUHP. Keempat pasal tersebut yaitu pasal 218, 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, dan pasal 353, 354 tentang Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. 

"Empat pasal ini bernafas pada satu hal, ancaman pidana bagi siapapun yang menyebabkan harkat, martabat dan menghina presiden, wakil presiden, lembaga negara dan kekuasaan umum," kata Ray dalam keterangannya, Kamis (10/6).

Baca Juga

Ray memaparkan, terdapat persoalan serius dan substantif dalam empat pasal tersebut. Pertama, ia melihat tak ada penjelasan yang kuat tentang apa yang dimaksud dengan kehormatan, harkat dan martabat presiden/wakil presiden. 

"Dalam pasal yang kabur seperti ini justru akan berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan," ucapnya.

Kedua, Pasal 218  juga berpotensi tumpang tindih dengan pasal 353. Menurutnya, tidak jelas beda antara penghinaan dalam pasal 353 ini dengan penyerangan atas harkat martabat presiden/wakil presiden dalam pasal 218 di atas. 

"Apakah penghinaan masuk atau tidak dalam definisi penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden. Tak jelas," ujarnya. 

Ia menjelaskan, pasal 353 tidak hanya berhubungan dengan lembaga kepresidenan, tapi juga lembaga negara secara umum. Jika merujuk terhadap pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang memuat frasa 'memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar' maka dapat disebut lembaga negara itu yaitu MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,  Komisi Yudisial, Kepresidenan. 

Menurut Ray makna lembaga negara dinilai terlalu luas. Frasa 'kekuasaan umum' lebih meluaskan makna lembaga negara. 

"Jika kekuasaan adalah pelaksana aturan, maka kepala desa sampai presiden masuk di dalamnya. Betapa dahsyat jangkauan pasal ini. Artinya hampir seluruh jabatan kekuasaan dan lembaga negara dibentengi dengan pasal ini dari apa yang disebut sebagai penghinaan," terangnya.

Karena itu Ray melihat, LIMA Indonesia menyatakan empat pasal di atas (beserta pasal ikutannya) harus ditolak karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ia berpandangan, membuat kategori warga negara dengan lembaga negara yang berbeda derajat, harkat dan martabatnya tidak sesuai dengan sila ke 4 pancasila. 

"Selain itu, dua pasal dimaksud juga tumpang tindih, membuat cakupan yang terlalu luas, serta definisi yang kabur," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement