Jumat 04 Jun 2021 15:32 WIB

Muatan Politis pada Pengadaan Alutsista Rp 1,7 Kuadratriliun

Anggaran sebesar itu berlebihan dan keluar dari skema minimum essential force (MEF).

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Prajurit Marinir TNI AL berbaris jelang Inspeksi Kesiapan Pasukan dan alutsista yang digelar di Markas  Koarmatim, Surabaya, Jawa Timur. (Ilustrasi) (Republika/Aditya Pradana Putra)

Perwakilan dari Indonesian Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, mengatakan, meningkatkan anggaran sektor pertahanan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas ibarat memberikan cek kosong kepada elit politik. Di mana mereka menggunakan anggaran tersebut demi tujuan-tujuan politik maupun kepentingan pribadi yang berujung pada terjadinya korupsi.

"Sampai saat ini, Kemhan masih mengalami masalah serius terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. Kemhan selalu berlindung di balik tameng 'rahasia negara' yang sebenarnya hanya menjadi dalih untuk menutup-nutupi potensi penyimpangan yang terjadi," kata dia.

Dia mengatakan, transparansi dan akuntabilitias dalam sektor pertahanan hanya akan terwujud jika pemerintah melakukan proses reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997. Revisi yang menegaskan, militer tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum jika terlibat dalam tindak pidana umum.

"Tanpa adanya reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista akan selalu dibayang-bayangi oleh dugaan praktik korupsi," kata dia.

Kemudian perwakilan dari Imparsial, Hussein Ahmad, menyebutkan, kendati ketentuan tentang pengadaan alutsista telah mensyaratkan untuk tidak melibatkan pihak ketiga atau broker, dalam kenyataannya sejumlah pengadaan masih kerap diwarnai praktik tersebut. Dalam beberapa kasus, keterlibatan broker kadang berimplikasi pada dugaan terjadinya mark up.

"Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan terjadinya mark-up, korupsi, dalam pengadaan alutsista yang merugikan keuangan negara," jelas dia.

Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak presiden untuk memerintahkan Menhan agar tidak melanjutkan agenda penganggaran sebesar Rp 1,7 kuadratriliun untuk sektor pertahanan yang dirancang oleh Kemhan yang berasal dari hutang luar negeri. Sebab, itu akan membebani dan mencederai hati masyarakat yang sedang mengalami kesulitan dan krisis ekonomi akibat pandemi.

"Mendesak pemerintah untuk melanjutkan program modernisasi alutsista melalui skema MEF yang sudah dirancang sejak 2009 dan akan berakhir pada tahun 2024," ujar Hussein.

Lalu, koalisi juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mengaudit secara khusus seluruh pengadaan alutsista yang dilakukan melalui skema MEF selama ini. Evaluasi itu dilakukan baik yang terjadi pada masa periode pemerintahan sekarang maupun periode pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Pemerintah juga mereka desak untuk menetapkan kebijakan government to government sebagai metode permanen dalam proses akuisisi alutsista Indonesia di masa depan. Peran pihak ketiga atau broker juga mereka minta untuk dihapuskan.

"Karena memiliki risiko masalah yang tinggi terhadap kesiapan atau readiness alutsista serta berpotensi tinggi terjadi praktik korupsi," kata dia.

Selain mereka, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga terdiri dari PBHI, Amnesty International Indonesia, dan HRWG, ELSAM, LBH Pers, SETARA Institute, LBH Jakarta, ICJR, KontraS, dan Publik Virtue Research Institute.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement