REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal meragukan urgensi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang ingin berhutang Rp1,787 triliun demi membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista). Menurutnya, pemerintah sudah terbebani dengan anggaran penanganan Covid-19.
Faisal meminta Kemenhan mempertimbangkan matang-matang secara berhutang ini. Sebab ia khawatir hutang ini akan membebani negara.
"Yang belum dijelaskan oleh pemerintah adalah seberapa besar urgensinya pengadaan alutsista ini dalam kondisi APBN saat ini sudah sangat terbebani oleh pembiayaan untuk pemulihan ekonomi. Jadi masalahnya timingnya tepat atau tidak? Harus sekarang kah?" kata Faisal kepada Republika.co.id, Rabu (2/6).
Faisal mengkritisi argumentasi Kemenhan yang beranggapan hutang alutsista tak membebani APBN. "Urgensinya sejauh mana? Bukan dibandingkan dengan target anggaran," lanjut Faisal.
Faisal menyatakan argumentasi apapun tak bisa membenarkan dalih hutang luar negeri tak akan membebani APBN. Sebab hutang itu nantinya dibayarkan oleh negara.
"Kalau dikatakan tidak membebani APBN ya jelas keliru, karena pinjaman luar negeri kan tetap harus dibayar, dan membayarnya pakai dana APBN, bukan dari kantong pribadi," ujar Faisal.
Faisal mengingatkan pemerintah tak langsung menyetujui rencana ngutang oleh Kemenhan. Pasalnya, pemerintah telah kesulitan mengatur anggaran penanganan Covid-19 beserta dampak yang ditimbulkannya.
"Apalagi dalam konteks saat ini utang negara untuk PEN saja sudah membengkak. Apalagi sumbernya dari utang luar negeri, tetap akan meningkatkan kerentanan ekonomi," pungkas Faisal.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Pertahanan RI Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan, proyek pembelian alutsista nantinya tak akan membebani APBN karena dananya bersumber dari pinjaman luar negeri. Apalagi, dia menyebut, proses pembelian alutsista itu masih dalam pembahasan.