Selasa 01 Jun 2021 05:08 WIB

Metamorfosa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.

Mural lambang Garuda Pancasila.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Mural lambang Garuda Pancasila.

Oleh : Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015.

REPUBLIKA.CO.ID, Mendiskusikan Pancasila tidak pernah akan berakhir, selama menjadi idiologi terbuka. Pendekatan historis dan memahami original intent menjadi sangat penting, karena nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah titipan dan cita founding fathers tentang kehidupan negara yang harus terus diwarisi dan diingat oleh generasi ke genarasi bangsa selanjutnya. Nilai-nilai itu menjadi dasar dalam mengayuh Indonesia menuju citanya menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Jika kita membuka risalah pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) sejak tanggal 28 Mei 1945 dan seterusnya, kita akan menemukan pembicaraan dan diskusi yang sangat terbuka dan bernas dari para founding fathers tentang cita bernegara Indonesia.

Tema besar yang mengawali rapat besar BPUPK adalah apakah yang menjadi dasar (philosophische grondslach) bagi negara Indonesia yang akan didirikan? Sayang sekali dari 39 pembicara hanya 19 yang terekam, itu pun tidak semuanya utuh. Bahkan pidato tokoh Islam, seperti H. Agus Salim, KH. Sanusi serta Hatta dan tokoh lainnya, belum ditemukan risalahnya. Salah satu topik krusial adalah dasar ketuhanan. Ketuhanan Yang Maha Esa atau ketuhanan – Tuhan -  atau Islam sebagai dasar negara disebut oleh banyak tokoh yang berbicara dalam rapat besar selama 3 hari, 29 Mei sampai 1 Juni 1945.

Dari 19 pembicara, paling tidak 9 orang yang secara tegas menyebutkan pentingnya agama, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau khususnya agama Islam menjadi dasar negara. Pertama kali dikemukakan oleh M. Yamin saat menjadi pembicara pertama pada 29 Mei 1945, yang mengusulkan salah satu dasar bernegara adalah Ke Tuhanan. Menurut Yamin, peradaban Indonesia mempunyai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian Ki Bagus Hadikusumo dan Dasaad menguraikan panjang lebar mengenai dasar agama Islam. Soekarno pada pidatonya yang monumental 1 Juni 1945 dan pertama sekali mengenalkan istilah Panca Sila, menguraikan dasar negara Ketuhanan sebagai sila kelima Pancasila.

Menyimak pidato Soekarno, 1 Juni 1945 dapatlah dikatakan merupakan intisari atau rangkuman dari pidato para tokoh sebelumnya yang disusun sedemikian sistematis oleh Soekarno. Setelah menjelaskan empat dasar Indonesia merdeka, yaitu kebangsaan (nasionalisme), internasional (kemanusiaan), musyawarah dan mufakat, keadilan sosial atau kesejahteraan, Soekarno kemudian berbicara tentang prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa (YME).

Menurut Soekarno, prinsip ketuhanan bukan hanya bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya menyembah tuhannya menurut petunjuk yang ada. Orang kristiani hendaknya menyembah tuhannya menurut petunjuk Isa Almasih, umat islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadah menurut kitab-kitab yang ada padanya. Intinya adalah mari kita semua bertuhan. Marilah kita amalkan ajaran agama dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah saling hormat menghormati  satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberikan bukti yang cukup tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan hal yang demikian.

Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima dalam negara kita adalah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain, hatiku akan berpesta raya jikalau saudara-saudara menyetujui jika negara Indonesia raya merdeka berazaskan ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah pidato soekarno mengenai dasar negara ketuhanan YME. Rumusan yang ditawarkan oleh berbagai anggota BPUPK, temasuk rumusan Soekarno inilah yang menjadi cikal bakal rumusan Pancasila sekarang ini.

Pancasila 22 Juni

Pidato Soekarno merupakan pidato terakhir menutup rapat besar BPUPK. Kemudian dibentuk panitia kecil yang di dalamnya adalah Soekarno sebagai ketua. Dalam panitia inilah, terjadi perdebatan mendalam antara para tokoh yang dapat dikenali ada dua kelompok besar mengenai kehendak atas dasar apa negara Indonesia akan dibangun. Pertama, negara yang berdasarkan nasional atau nation state. Kedua, negara yang berdasarkan Islam. Perdebatan sangat tajam diantara dua kelompok itu, berkahir dengan kompromi, melahirkan rumusan 22 Juni 1945 yang terdiri dari lima sila dan pada sila pertama disepakati;  “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ada pun sila yang lainnya sama dengan Pancasila sekarang ini. Inilah yang disebut sebagai gentlement agreement atau oleh Yamin disebut Piagam Jakarta. Inilah rumusan Pancasila yang resmi disepakati oleh sembilan tokoh yang mewakili dua kelompok besar dan disahkan dalam rapat besar BPUPK. Rumusan tersebut dapat dikatakan sebagai rumusan resmi Pancasila yang pertama.

Ketika UUD hasil rumusan BPUPK hendak disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai UUD negara Indonesia, rumusan Pancasila yang telah disepakati, khususnya sila pertama, dibahas kembali atas usulan Muh. Hatta, karena ada keberatan dari beberapa anggota yang beragama nasrani yang tidak setuju dengan adanya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Keberatan juga sebenarnya diajukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, karena menurutnya tidak mungkin berlaku dua hukum dalam satu negara, syariat Islam itu hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, dan yang tidak beragama Islam berlaku hukum yang lain. Karena itu cukup ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam saja.

Dengan perdebatan yang penuh persaudaraan dan kekerabatan, menurut Soekarno yang penting kita merdeka dulu, bersegeralah kita merdeka, nanti setelah keadaan memungkinkan dan suasana yang lebih aman, akan kita rumuskan dan sepakati kembali UUD yang lebih sempurna. Atas keberatan tersebut, pada pagi hari 18 Agustus 1945  dalam waktu yang sangat singkat sebelum pengesahan UUD, diadakan lobi dengan tokoh-tokoh Islam antara lain Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, Teuku M. Hassan dan lain-lain yang dengan besar hati para tokoh Islam dalam PPKI melepaskan 7 kata itu dan menerima ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai sila pertama. Menurut keyakinan para tokoh ini ketuhanan yang maha esa tidak lain adalah cerminan Qul huwallahu ahad. Inilah rumusan kedua yang resmi menjadi sila pertama Pancasila hingga sekarang ini. Konstitusi RIS tahun 1949, dan UUDS 1950 juga tetap mencantumkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar negara.

Dekrit Presiden 1959

Ketika Konstituante dianggap tidak dapat menyelesaikan penyusunan UUD yang baru, Presiden Soekarno melalui Perdana Menteri Juanda mengusulkan kembali kepada UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945. Usulan tersebut mendapat respon pro kontra dari para anggota Konstituante yang pada akhirnya ada dua kelompok besar, yaitu yang menerima UUD 1945 secara utuh dan menerima UUD 1945 dengan perubahan pada Pasal 29 yaitu mengembalikan bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta.

Karena tidak mencapai kata sepakat, dilakukan voting yang dilakukan tiga kali, baik secara terbuka maupun tertutup dalam tiga hari. Dari tiga kali voting, tidak ada yang mencapi jumlah dukungan 2/3 suara yang dipersyaratkan oleh UUDS 1950 untuk menjadi keputusan yang sah secara konstitusional. Akhirnya Presiden Soekarno mengambil keputusan yang sangat luar biasa dalam rangka penyelamatan negara, yaitu mengeluiarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945.

Kompromi Indah Soekarno

Apa yang menarik dari dekrit ini sehingga diterima oleh anggota DPR pada saat itu? Soekarno megambil jalan komproni, mengakomodir kehendak kedua kelompok, yaitu kembali kepada UUD 1945 dan menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945. Soekarno telah merumuskan sesuatu yang sangat bijaksana, sehingga Dektrit Presiden diterima baik oleh DPR hasil Pemilu 1955. Walupun Dekrit Presiden 1959 menjadi perdebatan hukum tata negara, karena Presiden dianggap tidak berwenang menetapkan UUD yang seharusnya merupakan wewenang Konstituante, tetapi dektrit tersebut telah diterima sebagai hukum yang berlaku efektif dan valid, sehingga tetap diterima sebagai dasar berlakunya UUD 1945.  Rumusan Pancasila dalam dektrit secara tekstual tidak berubah, tetapi secara substansial mengalami perubahan makna, yakni rumusan dalam Pancasila 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta) menjiwai dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945. Dektrit Presiden 5 Juli 1959 diakui dan ditegaskan dalam Perubahan Keempat UUD 1945 sebagai dasar pemberlakuan kembali UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945.

Memaknai Pancasila, tidak hanya dapat dibaca dari rumusan yang tertulis saja, tetapi harus diselami dari jiwa yang terkandung di dalamnya, yaitu jiwa dan kehendak suci dari para founding fathers dengan berbagai kesepakatan dan saling memahami antara berbagai kemlompok yang plural dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dengan pemahaman seperti itu, kita mewarisi wisdom dan kebijaksanaan para pendiri negara yang selalu terbuka dalam memahami, menata dan menatap bangsa dan negara yang kita cintai.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement